Pernyataan Erika membuat Yunan kembali tersentuh hatinya. Raesha yang baru keluar dari kamar tidur, menghampiri keduanya.

"Ibu dan Kakak kenapa?" tanya Raesha heran, melihat keduanya seperti akan menangis.

"Gak apa-apa," jawab Yunan tersenyum.

Raesha nampak tidak percaya. Gak mungkin banget gak apa-apa. Jelas-jelas mata mereka tergenang cairan begitu.

"Ayo kita makan kue sambil ngeteh, sebelum kita berangkat ke rumah. Raesha, berhubung rumahmu masih diselidiki polisi, kita tinggal di rumah Adli, sayang. Kak Yunan juga menginap di sana, sampai pengadilan usai. Jadi -- ehm. Kalian harus sangat berhati-hati, untuk tidak seruangan berdua saja," kata Erika dengan sorot mata tajam, menatap bergantian ke Yunan, lalu ke Raesha.

"Memangnya yang sengaja mau seruangan berdua saja sama Kak Yunan, siapa?" ucap Raesha protes, meski wajahnya nampak malu, seperti rona malu di wajah kakak angkatnya. Erika hanya tersenyum tipis.

"Oh ya. Kak, kata Ismail, tadi hape Kakak bunyi. Kak Arisa telepon," kata Raesha pada Yunan.

Yunan terdiam beberapa detik. 

Erika menatap Yunan dengan tatapan datar. Kamu masih ingat Arisa, 'kan? Itu, lho. Istrimu! batin Erika.

"Ya Allah!!" seru Yunan sambil berjalan tergopoh ke kamar. Ia baru ingat. Sejak jam tiga dini hari, dia mengisi daya ponselnya. Mungkin baterai ponselnya sudah penuh sejak pagi tadi. Dan istrinya mungkin sudah cemas bercampur marah, sebab tak ada kabar dari Yunan sejak kemarin berangkat ke bandara. Apakah Arisa bisa marah? Mungkin. Walau Yunan tidak pernah melihat Arisa marah. Sedih pernah. Kecewa pernah. Tapi tidak marah. Setidaknya, tidak di depannya.

Televisi di ruang tengah menyala. Yunan sempat melihat wajahnya sendiri, diiringi Raesha yang bersembunyi di belakang punggungnya. Wah. Berita itu sudah sampai ke televisi. Artinya, Arisa akhirnya tahu situasi yang terjadi di sini, justru dari televisi. Bukan dari suaminya sendiri. Bisa dibayangkan. Arisa pasti kesal sekali.

Erika melengos. Pasti Yunan lupa mengabari istrinya sejak kemarin heboh dengan musibah yang menimpa Raesha, Ismail dan Ishaq. 

Raesha menatap kosong sosok Yunan yang sudah menghilang ke dalam kamar. Yunan sampai sepanik itu, mendengar istrinya menelepon. Tentu saja. Wajar. Kak Arisa adalah istrinya. Mikir apa aku? Raesha membatin, sebal dengan dirinya sendiri. Memangnya ada gunanya cemburu? 

"Ayo kita makan kue, Rae," ajak Erika sambil melangkah ke arah ruang makan. Di sana, Elaine sedang meletakkan cangkir-cangkir berisi teh panas yang asapnya mengepul ke udara.

"Alhamdulillah. Selesai juga," ujar Adli lega, sambil duduk di kursi ruang makan. Tangannya mengipas-ngipas lantaran dirinya berkeringat setelah menyingsingkan lengan, memindahkan furnitur kembali ke tempatnya, setelah sebelumnya dipinggirkan agar pelayat leluasa duduk di karpet ruang tengah dan ruang tamu.

"Capek, Om? Nge-teh, Om," kata Elaine tersenyum saat meletakkan secangkir teh hangat di depan Adli.

Adli tersipu. Ingin rasanya dia menceploskan kalimat gombal, tapi rasanya tidak tepat di saat masih berkabung seperti sekarang ini. 

"Iya. Makasih," sahut Adli tertunduk malu.

Kok tumben jadi begitu reaksinya? batin Elaine sembari menahan senyum. Elaine merona pipinya saat teringat igauan Adli yang didengarnya semalam. Benarkah Adli memimpikan dirinya? Rasa-rasanya sih, Om Adli memang menyebut-nyebut namanya. Tapi ... 

Gimana kalau ternyata aku salah dengar? Jangan-jangan bukan namaku, tapi nama yang sepintas kalau didengar mirip namaku!

Elaine menggigit bibir. Nanti. Nanti kalau suasana duka sudah mencair, dia akan menanyakan ini pada Om Adli.

ANXI EXTENDED 2Where stories live. Discover now