"TAEK ASU!"

"Hahahaha."

"Ya sudah. Aku tak berangkat cari hotel dulu."

"Yang bagus, lho. Aku nggak mau yang murahan. Nanti di grebek pasukan Kue Lumpur malah panjang urusan."

"Apa itu pasukan Kue Lumpur? Aku bisa meniduri istri mereka kalau macam-macam."

"Sombong sekali ucapanmu, wahai manusia peranakan lumut jamban."

"Kamu sendiri kenapa takut sama undur-undur Boyolali seperti mereka, wahai jenggot Tong Sam Cong?"

"Peno takok ta nantang seh sakjane?" (Kamu tanya apa nantang sih sebenarnya?)

"Mancing."

"Nggak jelas lho kamu ini, Mas. Kayak rujak congor."

"Cingur, cok! Adoh! Capek aku ngomong sama kamu, cok."

"Hahahaha. Oh iya. Sekalian aku titip bawain aku baju ganti. Ini bajuku kotor abis mandi bola."

"Mana ada mandi bola bisa kotor, sat!"

"Bisa, lah. Bolanya keluar air pas aku tebas pakai sendok."

"Cok! Aku bisa menebak kalau kamu baru saja menggila, kan?"

"Pesta kecil-kecilan, kok."

"Asu! Kenapa nggak ngajak-ngajak, sih?"

"Siapa suruh tidur sambil ngelindur kangen mantan?"

"BANGSAT!"

HAHAHAHAHAHA!

Tut!

Tawa Bara masih terbahak-bahak sampai panggilan telepon ia matikan. Hanya beberapa saat, Firly terbangun karena kerasnya suara Bara. Ia mengerjap. Terusik. Menyorot tidak senang si sableng yang semakin malam, semakin terasa gilanya.

"Hei. Kecilin suaramu, Kak. Aku itu pusing. Mual. Lemes. Nggak bisa apa, nggak bikin aku jengkel?" gerutu Firly.

Bara tak menjawab. Ia justru melihat layar ponsel, yang baru saja Saga mengirimi lokasi pertemuan mendadak malam ini. Kemudian, Bara memberitahu si supir Grab untuk ganti lokasi.

"Kak! Jangan cuekin aku, dong!" Firly menegur. Tak terima. Wajahnya cemberut lucu. Matanya semakin sipit tak terlihat dengan ekspresi menggemaskan bak anak kecil kehilangan boneka.

"Apa?"

"Kakak namanya siapa?"

"Bara."

"Kampret! Udah tau kalau itu. Maksudku, nama panjangnya."

"Baraaaaa."

Firly memukuli Bara menggunakan kepalan tangan bagian bawah. Ditambahi mencubit biar afdol. Firly lelah. Rebahan lagi. Tapi dengan sudut mata melirik Bara. Sementara itu, Bara sendiri hanya menatap Firly datar. Sedatar papan cucian.

"Bara Geni." Bara akhirnya menjawab.

"Oke. Bagus juga. Firly Geni. Ah, atau Fifi Geni. Eh, bentar! Greta Geni? Haduh, kurang pas." Firly bicara sendiri. Masih belum jelas apa yang ia gumamkan bawa-bawa nama Bara. Hingga beberapa saat, Firly menatap ke arah luar. Memandang indahnya bulan di langit. Seketika Firly menjentikkan jari. Sambil menatap Bara antusias, berikut binar mata secerah samudra, Firly berkata, "Bulan Geni. Bagus, nggak?"

Bara plonga-plongo. "Hah? Apaan?"

"Sekarang namaku itu. Bulan Geni. Kan habis gini kita menikah."

"Oh, ya, ya." Bara manggut-manggut. Lanjut membakar rokok. Saat di mana pemantik sudah dinyalakan, mata Bara seketika melotot. "APA MAKSUDMU DENGAN MENIKAH, GENDENG?!"

Hak Asasi Money 21+ [On Going]Where stories live. Discover now