Ingon-Ingon

Mulai dari awal
                                    

Firly mengacungkan telunjuk ke depan. "Sebentar. Beri aku waktu untuk berpikir."

"Tiga puluh detik," jawab Bara, singkat.

"Kamu bercanda, Kak?!" Firly meradang. Emosinya benar-benar dipermainkan oleh Bara. Tak bisa Firly bayangkan jikalau pangeran penyelamatnya adalah seorang lelaki menyebalkan kelewat menjengkelkan.

"Aku tetap di sini. Sekarang, Kak Bara bisa pergi." Firly menjawab tegas. "Pembicaraan kita selesai."

"Baiklah." Bara menghisap rokoknya dalam-dalam, lantas menghembuskannya ke samping kanan. Tajam lirikannya bagai anak panah menghujam dada. "Selamat malam." Bara berdiri. Balik badan. Lalu, menoleh ke belakang. "Kamu kira aku bakal mengatakan itu? Mimpi. Sekarang kamu siap-siap. Berada di tempat ini dalam waktu yang lama membuatku mual."

"Brengsek! Enak banget kamu ngomongnya? Jadi cowok jangan egois, napa? Jangan kamu anggep aku barang, yang bisa seenak udelmu mengaturku, lelaki bajingan!"

"Nyatanya, kamu memang barang. Barang murah." Bara melangkah. Menggeser pintu shoji, lalu suaranya menggema sebelum akhirnya lenyap tertahan kegelapan malam.

"Anjing! Anjing! Anjing!" Firly menjambak-jambak rambutnya. Berantakan. Ia berteriak kesetanan. Menggebrak dan mengacak-acak seisi ruangan. Melampiaskan emosinya yang meletup panas. "Apa, sih? Apa, sih? Argh! Apa, sih? Anjing! Cowok anjing! Egois! Sok keren! Sok cool! Sok ... sok ... sok apa, ya? Argh! Fuck, fuck, fuck! Aku benar-benar benci kamu, gondrong anjing!"

Benang takdir Firly berubah tanpa bisa ia tebak ke mana arah takdir membimbingnya. Berurusan dengan Bara yang super duper menguras kesabaran sampai titik maksimal, sudah cukup menjadi alasan Firly untuk tak ingin menikah.

Menikah? Jangan bercanda. Apa itu mungkin, mengingat Firly yang malam ini resmi berstatus mantan pelacur, mendapatkan hujan cinta dari seorang lelaki tulus di luar sana yang menerima Firly apa adanya? Sekali lagi, apa itu mungkin?

***

Sebuah Grab yang disewa Bara meluncur membelah jalanan malam sektor selatan. Arah yang dituju adalah sektor timur tempat di mana kostan Rantai Hitam berada. Meninggalkan Berto untuk membawa motornya sendiri. Walaupun nantinya Bara bakal diomeli Loki karena luput menjaga Berto agar tidak tersesat di jalan, Bara memiliki alasan tersendiri membiarkan Berto tetap berkeliara di Rumah Bordil Darmo. Setidaknya, rencana tambahan yang mereka susun secara spontan sebelum berpisah beberapa menit yang lalu dapat Berto jalankan tanpa menarik perhatian.

Sekarang, di keheningan malam. Terjadi aksi memalingkan muka dua sosok pemuda-pemudi di jok belakang mobil HRV putih susu yang bergerak dengan kecepatan 80 km/jam.

Bara yang malas mengobrol. Dan Firly yang malas melihat wajah si sableng.

Tapi tak lama, kebekuan yang terasa sunyi itu mulai cair saat di mana mobil Grab mengerem mendadak. Menerbangkan beberapa benda, berikut Firly yang tak siap akan guncangan tiba-tiba, jatuh telungkup ke bawah. Lucu.

Tak ada niatan Bara untuk membantu gadis Jepang itu. Bara justru menimpa sebelah kaki ke kaki yang lain. Kepala tangan kanannya menopang pipi, sembari menatap tak minat kekonyolan di depan mata.

"Sebaiknya kamu tetap begitu kalau nggak ingin melihat apa yang terjadi di luar," terang Bara dengan ekspresi mati.

Wajah Firly mendongak. Ada bekas merah di keningnya akibat berbenturan dengan benda keras. Berkedip dua kali, Firly menatap Bara dengan sorot antara kesal dan penuh tanda tanya. "Bantuin dulu kek. Ngeselin lho kamu, Kak."

"Manja. Bangun sendiri."

Saat Firly berusaha bangun, Bara mengulurkan tangan. Firly menyambut. Segera Bara menariknya. Sedikit kuat. Kontan badan Firly doyong ke depan. Jatuh ke dalam pelukan Bara.

Hak Asasi Money 21+ [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang