"Ada kalanya rasa itu tak perlu diungkapkan. Tak perlu pula orang-orang tahu soal itu." Bara menjeda, "Mas Loki. Aku kira sampeyan lebih mengenal Mbak Dira dan Aura daripada aku. Bahkan si Putra Duyung keliatan akrab sama mereka. Selain itu, misi pertama yang aku ambil alih waktu itu telah selesai. Segala hal yang berhubungan secara personal bersama ibu dan anak itu aku kesampingkan. Tapi, Mas Loki, bukan berarti aku akan lepas tangan dan mengabaikan mereka berdua."

Loki memijat pelipisnya yang mulai berdenyut. "Singkatnya?"

"Aku ingin menjaga mereka tanpa melibatkan perasaan macam-macam. Dengan caraku, tentunya."

"Apa ada hati yang sedang kamu jaga?" tebak Loki.

Bara hanya tersenyum. Senyuman yang tak bisa Loki artikan. Senyuman seorang lelaki sejati yang tak mengharapkan imbalan. Bahkan jika seisi dunia mengutuk keras bagaimana cara Bara dalam mengambil keputusan, Bara bukanlah lelaki plin-plan.

"Bukan hati yang sedang aku jaga, gapi nyawa banyak manusia. Selain itu, untuk sekarang aku belum pantas menyandang nama 'papa' untuk siapa pun itu sebelum tujuanku tercapai."

Loki menghisap rokok. Dihembuskannya ke atas. "Mencari pembunuh papa angkatmu, kah?"

"Itu tahu. Hebat juga informan sampeyan mencari tahu tentang aku sampai detail gitu."

"Kalau yang kamu maksud Erwin, sudah jelas dia tabu segala macam informasi tiap orang di Kota Anggur."

Bara terkekeh. "Hehehe, aku merasa sedang dimata-matai."

"Jangan marah. Kamu masih terhitung orang luar, apalagi kamu anggota baru kami, wajar kan jika kami sedikit kepo tentang kamu."

Bahu Bara mengendik. "Nggak masalah. Lagipula, aku nggak berniat menjadikan kalian musuh."

"Kenapa kamu bisa berpikir begitu? Apa kamu nggak punya pikiran negatif andai kamilah yang menghabisi papa angkatmu?" cetus Loki.

"Benar pun, aku tetap menolak pikiran negatif itu. Yang aku pikirkan sekarang hanya mencari, lalu memikirkan hukuman apa yang pantas untuk pelaku nantinya."

"Ya, ya, ya. Aku paham jalan pikiranmu sekarang."

Bara bergidik jijik. "Gendeng. Jangan berkata seolah-olah kita pasangan mesra pakai paham jalan pikiranku segala."

Loki meniup kencang wajah Bara. "Oh, arek telo. Gak ngunu, lo. Tak kepruk saklar kon suwe-suwe." (Oh, anak telo. Tidak gitu, lo. Aku hantam saklar kamu lama-lama.)

"Hahaha. Sampeyan lek nesu ngunu iku mirip jerapah kenthu." (Hahaha. Kamu kalau marah gitu itu mirip jerapah bersenggama.)

"Bajingan." Loki garuk-garuk kepala frustasi. "Tau gini mending aku bangunin Saga biar dia aja yang kamu usili, cuk."

"Biarin aja Mas Saga sibuk sama mimpinya. Mending kita pedang-pedangan aja, Mas Loki. Hayuk!"

"Bajingan! Stress aku cok musuh tembelek kingkong iki." (Bajingan! Stress aku cok lawan tai kingkong ini.)

Sesaat hening.

Tak ada suara selain alunan musik jedag-jedug dari dobel sound system full bass di pojok sofa.

Mata Bara berputar. Mencari topik. Sampai akhirnya ia diingatkan akan pertanyaan di otaknya yang belum sempat di convert menjadi untain kata membentuk kalimat utuh.

"Mas Loki."

"Oi."

"Sebenarnya papan tulis yang ditutupi tirai itu apa isinya?" tunjuk Bara ke belakang dengan jempol terbalik.

Loki menoleh sekilas, lalu tersenyum menyebalkan. "Kepo amat."

Decak Bara terdengar kesal. "Ealah. Kepet. Yo wes, tak turu ae lek ngunu." (Ealah. Tai. Ya sudah, aku tidur aja kalau begitu.)

Loki ikut berdecak. "Cuk. Porekan arek iki. Mentolo tak buntel terpal raimu." (Cuk. Ngambekan anak ini. Greget aku bungkus terpal kamu.)

"Kandanono, a. Poleh gak isok turu engkok." (Kasih tahu, lah. Bikin tak bisa tidur nanti.)

"Yo, yo. Reneo, melok aku, lo, telo." (Ya, ya. Sinilah, ikut aku, lo, telo.)

"Asu, asu. Sempet-sempetnya dipanggil telo." Meski menggerutu, Bara tetap mengekor Loki dari belakang.

"Ini ..." Loki menyibak dari ke samping. Barulah terpampang sebuah papan tulis warna hitam dengan belasan kertas yang menempel di sana. Kertas-kertas berwarna putih tersebut berisikan foto orang tak dikenal, keterangan misi serta nomer telepon yang bisa dihubungi, dan bounty yang diberikan. "Ini kumpulan permintaan misi warga Kota Anggur yang resmi. Tingkatan misinya dikualifikasikan sesuai seberapa sulit misi yang tertulis di sana. Nah, tugasnya Erwin yang memberikan label tingkatan misi dari yang mudah yaitu level C sampai yang tersulit yaitu S," jelasnya, seraya menunjuk satu persatu kertas, dan berakhir menunjuk kertas dengan level S. "Misi ini belum ada yang ngambil sejak pertama kali ditempel di papan satu tahun yang lalu. Mungkin kamu minat?"

Bara menyimak dengan baik penjelasan Loki. Banyak sekali misi dengan segudang masalah kehidupan. Salah satunya kertas hitam kusam level Snyang ditunjuk Loki. Di sana tertulis misi atas nama Miss Meylia, berikut keterangannya: selamatkan anak saya yang bernama Firly Greta Anastasya, yang terjebak di Rumah Bordil Darmo.

"Rumah Bordil Darmo?" gumam Bara.

"Persentase kematian 95 persen kalau kamu mengambil misi ini tanpa persiapan dan mental. Nggak cuma perlu uang untuk nebus wanita yang ingin kamu bawa pulang, tapi soal tradisi di sana. Kamu beli, kamu nikahi."

"Tunggu dulu, Mas Loki. Aku belum pernah dengar tempat ini sebelumnya. Rumah Bordil Darmo ini punya siapa?"

"Kelompok bajingan di sektor selatan, Radical Raiders."

Hak Asasi Money 21+ [On Going]Where stories live. Discover now