"Begitu, ya?" Dayu mengetuk-ngetukkan jari di kaca mobil. Kemudian, ia menoleh ke arah Novia. "Menurut Ibu, apa dia orang baik?"

"Kalau yang kamu maksud Bara, ya ... dia baik karena menolong orang tanpa pamrih. Saat itu, setelah para begal dibuat babak belur, saya sama Berto dipanggilkan ambulan dan ditangani pihak rumah sakit Kota Apel. Semua administrasi dibayar sama mereka. Aneh. Padahal kamu tau sendiri kan kalau kami nggak miskin-miskin amat sampai harus dibayari segala? Huh, kesel."

"Kalau pandangan saya, walaupun dia baik, dia tetap jahat," gumam Dayu.

"Aku ingin dengar alasanmu."

"Dia pinter manipulasi. Seolah-olah nggak butuh imbalan dalam melakukan apapun. Dia juga pinter bikin orang penasaran, termasuk kita. Tapi ..." Dayu mengeluarkan ponsel. Membuka galeri, lalu menunjukkan sebuah foto kepada Novia. "Setelah tau niat dia yang sebenarnya, orang akan berpikir dua kali untuk mengenalnya lebih dalam."

Mata Novia membola. "Dia ... Bara?"

Senyum miring Dayu tersungging. "Ya. Ini Bara." Dayu menghela nafas kecil, "bagi Bara, semua orang adalah alat. Termasuk keluarganya sendiri. Foto ini ..." Dayu menggoyang-goyangkan ponselnya, "hanya satu dari sekian banyak kejahatan yang dilakukan Bara."

"Tunggu sebentar. Apa kamu korban Bara?"

"Ya. Dia telah mengambil milik saya yang paling berharga."

Perkataan Dayu tak disambung oleh Novia. Sebab, jika Novia menyahut, itu akan berisiko membongkar luka lama yang dialami Dayu. Cara terbaik untuk menghormati Dayu adalah diam.

Sampai kemudian, tibalah mobil yang dikendarai Novia di sebuah bangunan berwarna biru muda yang berada di perempatan gate depan Kampus UB. Lokasinya terletak di antara toko material dan toko alat konstruksi. Bangunan tersebut tidak besar. Yang membuat beda adalah ruko tersebut dijadikan lapak khusus barang lelaki. Namanya Dominion.

Tanpa mematikan mesin, Novia melipirkan mobil di pinggir jalan, lalu bertanya, "Di sini, Dayu?"

"Iya, Bu. Terima kasih sudah mau saya repotin."

"Nggak masalah kalau buat mahasiswa berprestasi seperti kamu."

"Ah, Ibu terlalu memuji. Saya nggak se-wah yang Ibu kira, kok."

"Lantas, kalau bukan mahasiswa berprestasi, apa perlu saya katakan jika kamu lebih senang dicap agen ganda?" Novia tersenyum simpul. "Atau multi-agen, maybe?"

Dayu tertawa menanggapi lelucon yang diucapkan sang dosen. Salah sih tidak, hanya saja Dayu merasa tersentil karena posisinya cukup krusial dan sulit. Menjadi mata-mata memang seberbahaya ini. Terlebih Dayu seorang perempuan. Di mana, sewaktu-waktu nyawa gadis Bali itu bisa terancam andai ia melakukan sedikit saja kesalahan.

"Nggak perlu seserius itu sampai kamu menyiapkan pistolmu. Toh, saya hanya kepo sedikit." Novia berkata sarkas. Saat di mana Novia dapati Dayu mengambil pistol jenis Glock 31 yang berisikan 13 peluru dari dalam tas, lalu diletakkan di belakang punggung.

Dayu mengedipkan sebelah mata. "Oh, enggak. Ini sedikit teknik ancaman aja, Bu."

"Semoga, ya."

"Ya." Dayu melepas seatbelt. Membuka pintu, keluar dari mobil. Kemudian, Dayu menutupnya pelan. Badannya membungkuk untuk sekadar melihat ke arah Novia. Diiringi senyum tulus, Dayu berucap, "sekali lagi terima kasih. Hati-hati di jalan, Bu."

Novia mengangguk. "Sure. Selamat bertugas, Detektif."

***

Sambil berjalan santai, Bara menanggapi ringan ocehan Aura yang mengungkapkan kekesalannya karena sedari tadi ia tak diperhatikan. Aura merajuk dan menolak digendong. Bocah imut itu ingin jalan sendiri. Digandeng pun enggan.

Hak Asasi Money 21+ [On Going]Where stories live. Discover now