*Part 2*

0 0 0
                                    

Happy Reading

Dipo menatap sekitarnya yang ramai murid yang ingin pulang sepertinya, bedanya Dipo jalan kaki sampai di rumah. Saat sepertinya ia salah tangkap orang, ia langsung menundukkan kepalanya sambil mengeratkan tangan pada tali tasnya dan terus berjalan.

Di pinggir lapangan ada Rara dan teman-teman gadis itu, juga ada beberapa kalangan cowok yang suara tertawanya sampai kesini.

"Ada Dipo guys...!!" teriak teman Rara.

"Mana! Manaaa!??" tanya Rara begitu semangat sambil celingukan, begitu melihat Dipo yang terus jalan sambil menunduk Rara menyeringai.

Ia maju dan berteriak membuat semua pasang mata menatapnya.

"Dipo mau pulang nih gengs! Siapa yang mau tebengin? Ada yang baik nggak sih sama Dipo??" teriak Rara. "Spek malaikat deh, cepetan dong! Dipo kepanasan nih, ntar pingsannn lagii." teriak Rara lagi lalu tertawa, diikuti teman-temannya yang merasa puas Dipo dibully si cantik itu.

Dipo tidak tinggal dan diam di tempatnya, ia terus berjalan dengan langkah semakin cepat.

Sayangnya ada yang menusuk hati Dipo secara tak langsung membuat Dipo perlahan menghentikan langkahnya.

"Ih yang mau nebengin dia siapa coba? Sorry ya Ra, amit-amit mobil gue bau kena kuman."

"Emang anak kayak gitu pernah naik mobil apa??"

"Nggak mobil deh, motor aja, pernah emang. Palingan gerobak."

"Hahaha,"

"Maklum orangtuanya kan pemungutan sampai, alias pemulunggg!! Hahahaha."

Hati Dipo sesak, matanya berkaca-kaca saat menatap jalan yang dipijatinya. Ia tak bisa melangkah, seolah-olah kakinya berpijak karena di lem.

Dipo tak bersuara, ia mengulung tangannya kuat sampai-sampai kukunya memutih. Rahangnya mengeras menahan diri.

Ia mengasihani kedua orang tuanya, yang saat dihina dirinya tak bersuara. Bukannya tidak dapat bersuara, hanya saja Dipo ingin tahu sampai kapan diri ini bisa menahannya jika terus di sepertiinikan oleh mereka.

"Ayah... Ibu..." gumam Dipo terdengar bergetar penuh kesakitan. Menguatkan cengkraman tangannya. "Maafkan Dipo. Janji, suatu saat nanti Ayah Ibu nggak di seperti ini kan oleh mereka lagi. Semua orang. Nggak bakal ada yang berani sama kalian." lirih Dipo penuh penekanan di antara hatinya yang sakit dan sesak.

Setelah itu Dipo berjalan tergesa-gesa, mengabaikan cibiran demi cibiran yang ditujukan padanya.

"HUUUUU CUPUUU!!" teriak Rara sampai menggema di dalam sekolah. "Orang miskin kok bisa sekolah disini sih gengs???" teriak Rara lagi.

"BIASALAH.... MAEN CURANG, ETSSS MAIN CURII."

Dipo menghentikan jalannya dengan napas yang terengah-engah, menatap aspal sampai air matanya setetes jatuh mengenai ujung sepatunya.

"Hanya ada satu yang menciptakan, tapi kenapa semua sifatnya berbeda-beda begini Tuhan?" tanya Dipo lirih.

Lalu tangis Dipo yang menyayat hati membawa remaja itu menyusuri jalan menuju pulang ke rumah.

Satu yang ingin dilakukannya, memeluk Ayah Ibunya kuat.

Hati Dipo sangat sakit mendengar cibiran demi cibiran yang ditujukan untuk keduanya.

◾️◾️◾️

Dipo terus berlari sampai di depan rumah ia langsung mendorong pintu rumah kayu berukuran kecil yang sangat jauh berbeda dari rumah yang telah mencibirnya sebagai orang miskin.

Apa bedanya orang kaya orang miskin, mereka semua sama. Sama-sama manusia, ciptaanNya dan akan kembali kepada-Nya. Hanya saja rejeki mereka yang tidak sama. Ataukah masih digenggaman sang pencipta.

Tapi mengapa mulut mereka semua kotor untuk selalu Dipo dengarkan.

"Ayah, Ibu," panggil Dipo dengan suara tercekat. Sesekali isakannya akibat lamanya menangis.


"Iya nak! Ibu disini!" jawab Ibunya lalu terdengar batukan dari beliau.

Dipo yang mendengar suara Ibu ada di belakang segera ke belakang dengan tergesa-gesa, dan tangisannya kembali terdengar kuat begitu melihat Ibunya berpakaian putih penuh tanah kotor, Ibu jongkok di tanah terlihat menanam ubi hasil dimintanya dari orang yang memiliki banyak kebun, dengan janji akan membagi hasilnya nanti jika ubi sudah di jualnya.

Dipo tergesa-gesa menghampiri, Ayah tak terlihat, yang jelas Dipo pahami Ayahnya sedang keluar memulung.

Sesak sekali Tuhan menyadarinya...

Setiap hari mereka seperti itu, namun yang didapat tak lebih dari satu kertas uang berwarna biru yang sudah membuat mereka bisa merasakan makan makanan yang layak. Itu sudah syukur.

"Ibu," Dipo tarik Ibu pelan-pelan untuk ia dekap, tak peduli seragannya kotor. Mendekap tubuh ringkih sang ibu dengan begitu erat yang terlihat lagi kebingungan saat ini. "Maafkan Dipo jika banyak salah, maafkan Dipo yang banyak mau dengan keterbatasan kita ini, maafakan Dipo Ibu. Dipo sayang Ibu sama Ayah, maafkan. Nanti Ayah Ibu bakalan bahagia. Nggak ada yang boleh lagi menghina Ibu, Dipo janji, Ayah Ibu Dipo harus bahagia." penuturan Dipo yang diselingi isak tangis menyakitkan anak itu.

Walau tak paham kenapa sang anak pulang-pulang berucap seperti ini, ibu menganggukkan kepalanya dengan mata berkaca-kaca dan dada yang sesak.

"Dipo kenapa pulang langsung nangis nak?" tanya Ibu lembut namun wajahnya menciptakan kekhawatiran dalam, matanya memerah berkaca-kaca. "Ada yang jahatin ya?" tanya Ibu.

Dipo tak langsung menjawab, ia butuh energi buat semangat, ia memeluk Ibunya semakin erat dengan tangisan menyakitkan yang terpendam di leher sang Ibu.

Sementara Ibu Dipo pun diam sambil mengelus kepala belakang Dipo. Mungkin Dipo lagi ada masalah, pikirnya.

Dirasa Dipo sudah tenangan, karena tak ada lagi suara isak tangis anak itu Ibu bertanya pelan pelan.

"Baik-baik saja kan?" tanya Ibu memegang kepala Dipo dan ia arahkan Dipo untuk menatapnya. "Hmm, kenapa di sekolah?" tanya Ibu sambil mengusap kedua mata Dipo yang membengkak sehabis menangis. Anaknya pasti sudah lama menangis.

"Mulut mereka semua jahat bu," jawab Dipo mengadu lalu kembali ingin menangis tapi ia jadi kuat saat tangan kotor ibunya mengusap pipinya.

"Atasinya hanya satu, jangan di dengerin, jalani saja, teruskan cuek sama yang begitu. Sebikin  sakit apapun itu. Ibu tanya, karna semakin Dipo tinggal diam, nggak bergerak maka rasa sakit itu akan semakin terasa, menusuk. Gimana tidak kerasa coba orang Dipo tinggal saja toh tidak segera meninggalkan?" ucap Ibu diselingi kekehan pelan, "Jadi saran Ibu, buat Dipo nih. Jangan diperhatikan ya nak, Dipo di sekolah urus saja sekolahnya, serius belajar. Nggak usah pedulikan mereka. Mulut mereka ya itu punya mereka, kita mau mencegah kalau mereka nggak mau? Susah nak, sekuat apapun kita mau mencegahnya pokoknya bakal susah. Jangan didengerin saja ya?"

"Tapi Dipo nggak terima pas mereka nyebut Ayah Ibu, menghina kalian terus anak Ibu ini cuman tinggal diam nggak ngelakuin apapun." geleng Dipo yang napasnya kembali tak beraturan mendengar ucapan Ibu.

Ibu malah tersenyum, beliau tegar sekali di depan sang anak. "Itu baru anak Ibu, walau sebanyak apapun yang berkata tidak baik buat Dipo? Buat Ayah Ibu, sudah diemin saja, mereka juga akan capek sendiri kalau Dipo tidak meladeni. Yaa??"

Dipo mengangguk paham dan kembali memeluk Ibunya. Di belakang Dipo, Ibu menatap tanah dengan tatapan kosongnya. Gimana reaksi yang seharusnya dipakai oleh Ibu?

Tentu saja rasa sakit yang dirasakan, sama seperti Dipo. Tapi anak ini lebih butuh support kedua orang tuanya, maka dari itu Ibu menguatkan Dipo dengan kata-kata menenangkan namun berbalik tidak juga membuatnya tenang.

Yang ada rasa sakit saja yang begitu menusuk sangat dalam.

*
*
*

Tbc

@Meccanashavirra
follow💓

DIPO ; Air Mata Dan DendamnyaWhere stories live. Discover now