Mata Raesha berkaca-kaca. Perlahan wanita itu mengangguk. "I-Iya, Kak. Tapi, a-aku 'kan tidak memaksa dia meminum racun itu, Kak! Racun itu tidak akan sampai membunuhnya! Mungkin hanya akan menimbulkan efek seperti penyakit kulit!"

Yunan menatap adik angkatnya dengan ekspresi tenang. "Kenapa kamu menyimpan botol racun itu di laci kamarmu?"

Air mata Raesha lolos ke pipi tanpa bisa ditahannya. Raesha menggigit bibir. "A-Aku sebenarnya ... pernah terlintas dalam pikiranku untuk membalas Sobri. Aku menyiapkan racun itu, tadinya dengan niat akan menyuntikkannya ke tubuh Sobri, jika dia benar-benar datang ke rumahku seperti dugaan polisi!" 

"Rae --!" seru Yunan dengan suara pelan nyaris berbisik. Dia paham kalau ini adalah aib. Aib Raesha. Tentunya Raesha tak ingin hal ini diketahui orang lain.

"T-Tapi, aku kemudian membatalkan niatku, Kak! Sungguh! Dan yang mengubah pikiranku adalah ... Kak Arisa," lanjut Raesha sambil mengeringkan air matanya, khawatir Adli melihatnya menangis.

"Arisa?" tanya Yunan. Yunan jadi ingat, dia belum sempat mengabari istrinya itu. Seharian ini hectic sekali. Mungkin nanti.

Raesha mengangguk. "Iya, Kak. Kak Arisa menemukan botol racun itu di laci kamarku. Dia menanyakan kenapa aku menyimpannya. Lalu -- " Raesha menutup muka saat menangis lagi. 

Yunan menatap Raesha iba. Kasihan. Rasa sakit yang teramat sangat karena kenyataan bahwa Ilyasa meninggal diracun, membuat Raesha sampai seperti itu.

"Kak Arisa menasehatiku dengan lembut. Akhirnya aku membatalkan niatku. Lalu aku kembali membenahi amalanku yang tadinya sempat kosong setelah Ilyasa tiada. Perlahan aku bangkit lagi dan kembali berdakwah."

Arisa ... Yunan trenyuh mendengarnya. Dia sudah menyaksikan dan merasakannya sendiri. Istrinya itu adalah wanita salehah. Hanya orang yang tersambung kepada Allah dan Rasul-Nya, yang bisa menyambungkan orang-orang kepada Allah dan Rasul-Nya. Kata-kata Arisa yang berasal dari hati, telah menyentuh hati Raesha.

Raesha tertunduk kepalanya. Bulir bening air matanya jatuh ke ujung jilbab. "A-Apa Kakak jadi benci padaku, setelah mendengar itu? A-Aku buruk sekali, bukan, Kak? Aku merasa tidak pantas berdakwah, dan tidak pantas jadi adikmu."

Yunan terkejut mendengarnya, namun ia kemudian tersenyum. "Memangnya Kakak bisa benci sama kamu? Gimana caranya benci sama kamu?"

Tatapan keduanya bertemu. Raesha menundukkan pandangan. Merasa pipinya menjadi panas.

"Rae, nanti di kantor polisi dan di persidangan, kalau ada pertanyaan terkait racun itu, bilang saja kalau kamu mencari racun itu karena didorong rasa ingin tahu mengenai zat yang membunuh Ilyasa. Karena kamu tidak menemukan senjata lain untuk membela diri, maka kamu terpaksa menggunakan racun itu untuk menyerang Sobri. Jawaban untuk melindungi marwahmu sebagai pendakwah. Yang penting, kamu tidak memaksa Sobri meminum racun itu. Kamu paham, Rae?"

Raesha menatap Yunan dengan sorot haru di matanya. Kak Yunan sampai memikirkannya sejauh itu. Memikirkan bagaimana jawabannya jika racun itu nanti dipertanyakan oleh polisi dan persidangan.

"Iya, Kak," ucap Raesha manut.

"Kakak akan mengusahakan agar persidangan itu tidak berlangsung secara terbuka. Tapi seandainya persidangan terbuka tak terelakkan, kamu jangan khawatir. Ada Kakak bersamamu."

Raesha menggigit bibir. Menahan rasa ingin memeluk pria di hadapannya. Bahagia, haru dan sedih bercampur menjadi satu.

Yunan menyentuh lap kompres di meja nakas. "Masih dingin, nih. Sini Kakak kompres pipimu."

Raesha merasa dinginnya kompres tidak bisa meredakan panas di wajahnya, saat Yunan menempelkan lap dingin ke pipinya.

"B-Biar aku aja, Kak," ucap Raesha segera. Lap kompres kini berpindah ke tangannya. Raesha merasa tidak tahan dengan debaran jantungnya yang menggila, jika Yunan terlalu lama mengkompres pipinya.

ANXI EXTENDED 2Where stories live. Discover now