Tears

2.4K 228 35
                                    

Pandangan tajamnya tak pernah lepas dari seorang House Keeping yang dirinya sewa, telah bekerja sekitar 2 minggu di rumahnya. Meski dia telah mencaci maki, menghina dan merendahkan, serendah-rendahnya. Namun Draco tak pernah melihat tatapan putus asa dan pantang menyerah dari wajah itu.

Draco melihat Harry Potter, House Keeping yang dulunya dia ingat juga teman sekelasnya saat SMA dan sering dirinya bully. Tidak malu ataupun mengeluh dan menangis ketika dirinya mencaci maki Harry yang melakukan setitik kesalahan.

Membuatnya bingung dan juga heran, bagaimana bisa seseorang yang serba kekurangan tetap tersenyum, meski hidupnya sangat pahit. Dan Draco melihat semua itu dalam diri Harry.

Tangannya yang cekatan, membersihkan seluruh perabotan meski sebenarnya tidak berdebu. Tidak ada keluhan dalam mulut Harry meski Draco memberinya pekerjaan yang berat, jauh dari kata manusiawi. Meski Draco merendahkannya dan mengatakan akan memberikan upah lebih banyak. Harry tidak pernah menolak sedikitpun.

"Katakan, sesempurna apa hidupmu sampai kau memiliki semangat semacam itu?" Kakinya bersila diantara sofa mewah miliknya, sementara dia bersedekap memandang Harry jijik.

Harry menatap Draco ragu, menghentikan kegiatannya sejenak. Namun netra lugunya kembali berbinar, Harry menampakkan senyuman indahnya meski telah berkali-kali di caci oleh Draco.

"Hidupku memang tidak sempurna, tapi aku selalu bersyukur karena tidak semua orang juga seberuntung diriku."

Draco tertegun, kemudian tersenyum sinis. "Naif."

Harry mungkin mendengar atau mengerti bisikan Draco. Tapi pemuda cantik itu tak memperdulikannya dan kembali sibuk dengan tugas yang di kerjakan.
.
.
.
.

Pada malam-malam yang dingin di musim winter, sementara Draco masih bisa bergelung nyaman di atas ranjangnya. Sendirian, tak memperdulikan undangan malam Natal yang diadakan orangtuanya sendiri.

Pikirannya melayang, teringat jauh dengan perkataan Harry. Tentang si miskin yang selalu bersyukur meski dalam keterbatasannya. Tapi bukan itu masalah yang Draco pikiran. Ini semua tentang perasaannya yang tersentuh, meski semua orang tau jika dirinya adalah pria dewasa yang tak memiliki hati nurani dan kurang rasa simpati. Namun perkataan Harry yang sederhana mampu meruntuhkan sedikit tembok kokoh yang dingin dalam hatinya.

Draco sendiri juga bingung, kenapa perkataan Harry sampai mampu menjungkir balikan hatinya? Bahkan orangtuanya sendiri juga tak mampu untuk menggapai relung hati Draco yang sudah sangat jauh untuk di gapai.

"Harry, Harry Potter." Gumamnya

Menutup mata membayangkan hari-hari 14 tahun yang lalu dimana dia membully Harry dan menghancurkan mental pemuda tersebut.
.
.
.
.

Sekitar 14-15 Tahun yang lalu, Harry adalah pemuda pendiam. Keterdiamannya membuat Harry mencolok dan menjadi bahan lelucon banyak orang, ditambah penampilan culunnya yang aneh —mereka membenci Harry.

Pemuda itu hanya diam dan tutup mulut meski banyak orang telah menyakitinya, merusak tubuhnya. Termasuk Draco, ketika Harry tak sengaja menyenggol motor sport Draco dengan sepeda bututnya, membuat Draco marah dan mempermalukan Harry di depan umum.

Mungkin seharusnya masa SMA menjadi hal yang sangat menyenangkan. Tapi tidak untuk Harry, masa SMA nya dipenuhi kenangan yang mengerikan, sendirian, kesepian tanpa teman, terbully dan tidak bisa melawan.

Hanya bisa pasrah setelah kejadian itu, karena Draco semakin menjadi-jadi untuk memperoloknya. Semua orang mengikuti apa yang Draco perintahkan, karena pria itu bagaikan raja semasa SMA, katakan saja jika Draco adalah starboy karena memang begitu adanya.

Tears (4shoot) TAMATWhere stories live. Discover now