30. You're Not Alone

326 60 4
                                    

Laki-laki yang rambut sebahunya digelung ke belakang, menyisakan beberapa helai di kiri menjuntai ke depan itu menopang dagu, mengetuk-ngetuk meja seiring dengan detik jam. Sejak pagi tadi, dia sama sekali tak menemukan kehadiran sang gadis pujaan. Bahkan, saat menanti di area parkir hingga bel masuk berdering, sosok itu tak kunjung datang.

Austin akhirnya menoleh, memandang guru yang menjelaskan mengenai hak asasi manusia di depan sana. Jujur, tidak satu pun materi yang masuk ke otaknya. Dia bisa bersekolah di sini saja untung-untungan karena menyogok panitia pendaftaran.

Menghela napas, Austin menyenggol Andrean yang duduk di dekatnya. “Sydney-chan ke mana?”

Bisikan pelan yang Austin lontar tentu dapat Andrean dengar dengan jelas, tapi dia memilih mengedikkan bahu daripada menjawab. Tidak mungkin dia mengatakan bahwa gadis sialan itu dikurung setelah Roberto meninggalkan rumah dan belum dibiarkan keluar hingga sekarang.

“Kok, bisa nggak tau? Jelas-jelas sekarang dia tinggal sama lo,” kata Austin, merengut kesal. Keningnya mengerut sedangkan sepasang mata laki-laki itu menatap temannya curiga. “Lo nggak lukai Sydney-chan, kan? Gue bogem muka sok ganteng lo kalau berani lukai Sydney-chan.”

“Lo ngancem gue?” Andrean mulai naik pitam, dia meletakkan penanya di atas meja, tidak berminat lagi mencatat materi atau mendengar penjelasan guru di depan. “Lo serius ngancem gue cuma buat perempuan nggak jelas itu? Gue sahabat lo, Austin. Udah lama kita kenal, nggak sepatutnya lo begini. Kalau lo kesusahan, Sydney nggak bakal bantuin lo, gue yang bantuin lo. Sadar! Gue tau lo nggak pinter, tapi minimal pake otak lo itu.”

Cinta adalah kutukan paling mengerikan. Austin merasakan sendiri. Seumur hidup, dia belum pernah tertarik menjalani hubungan karena baginya, hal itu sangat merepotkan. Namun, ketika bertemu Sydney, semua pemikiran itu hilang. Dia rela direpotkan dari pagi hingga tengah malam.

“Suka-suka gue, dong. Lagian lo nggak pernah bantu masalah gue, malah nambah-nambahin dengan cara lo sok nyuruh kembaran lo yang nggak kawai itu deketin gue. Ngerepotin tau, nggak?” Austin mendengkus, memalingkan pandangan sebab kesal. “Kayak kembaran lo paling cakep aja. Udah gue bilang nggak mau, maksa melulu. Giliran disakitin, nyalahin gue. Padahal lo sama kembaran lo sendiri yang nyari penyakit.”

“Lo cuma dibutakan sama perasaan lo ke Sydney. Itu perasaan sementara, nggak berdasar. Apa yang lo cari dari Sydney?”

Austin tak lagi menjawab, pura-pura fokus pada guru di depan walau otaknya berkelana memikirkan ke mana Sydney pergi hari ini hingga tidak masuk sekolah.

“Aletta punya segalanya, Sydney nggak sampe setengah dia. Lo cuma perlu lihat ke Aletta dan lupain Sydney, perlahan-lahan juga lo terbiasa, Austin. Sydney itu nggak bener. Dia sering keluar malem, kurang ajar, kasar, belum la—”

“Andrean, kamu tidak memperhatikan penjelasan saya?!”

Suara melengking itu memenuhi ruang kelas, memotong omong kosong yang sejak tadi Andrean coba jejalkan ke otak Austin. Seluruh pasang mata memandang ke meja belakang, disusul dengan guru perempuan berkacamata yang berjalan mendekat.

“Kamu tidak memperhatikan penjelasan saya, ya?! Kamu malah asyik berbicara sendiri, padahal Austin sedang mendengarkan saya!”

Senyum Austin seketika merekah. Dia yang hanya pura-pura memandang ke depan tidak terkena imbasnya. Sebelum Andrean sempat menjawab, Austin mendahului, “Andrean ngajak saya bolos, Bu. Saya lagi nggak mood bolos, jadi saya abaikan dia, tapi Andrean maksa.”

“Berdiri di depan kelas sampai jam pelajaran saya selesai!” titah sang guru pada Andrean, membuat laki-laki itu melotot tak percaya.

“Bu, tapi saya—”

SydneyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang