2 - Malam Mencekam

Start from the beginning
                                    

Tangis Raesha makin menjadi. Tidak! Jangan bayiku! Raesha teringat Ilyasa. Sekiranya Ilyasa ada di sini, Ilyasa pasti akan melindungi dirinya dan bayi mereka, meski nyawa taruhannya. 

"T-Tolong pergi! Berikan saya nomor rekeningmu! Saya akan transfer berapa pun yang kamu mau! Saya transfer sekarang juga! Sungguh, saya janji!" jerit Raesha memohon. 

"Sayang sekali, saya ada di sini bukan untuk uang."

Pupil mata Raesha mengecil. Ia melonjak berdiri, saat terdengar suara kapak diayunkan ke pintu kamarnya.

Dakk! Dak!! 

Tidak! Tidaakk!! jerit Raesha dalam benak, seraya berlari ke arah teras samping yang menghadap ke kolam. Apa yang sebaiknya dia lakukan? Jika dia nekat keluar melalui pintu samping, dalam kondisi hamil besar seperti sekarang ini, kemungkinan dia akan keburu tertangkap bahkan sebelum dia tiba di gerbang tembus ke madrasah. Lagi pula, jam segini satpam yang bertugas sudah pulang. Gerbang madrasah digembok, dan nantinya akan dibuka oleh guru yang bertugas mengawal anak-anak field trip.

Raesha beralih haluan. Ia berlari ke arah dapur. Tak ada pilihan lain! Raesha bersembunyi di bawah meja dapur. Berdo'a sambil mencoba menghubungi Yunan lagi. 

Kakak!! 

Mata Raesha terpejam. Air matanya makin membanjir, saat mendengar nada tidak aktif melalui pengeras suara ponselnya.

Dakk! Dak!! suara pukulan kapak masih terdengar berulang dari arah kamar Raesha. 

Siapa pun orang itu, Raesha yakin dia seorang sociopath. Mungkinkah ada orang semacam itu yang menyimpan dendam pada dirinya? Apa yang sudah dirinya lakukan pada orang itu?

Ya Allah! Tolong! Tolong!! 

Masih terdengar nada tidak aktif dari nomor Yunan yang berusaha dihubunginya.

Tuut tuut tuut! Notifikasi baterai ponsel Raesha akan segera habis. Oh tidak. Jangan sekarang. Jangan sekarang! Charger dan power bank-nya ada di kamar.

Braakk!! 

Pintu kamar Raesha berhasil dibobol. Di bawah meja dapur, Raesha menangis seraya menutup bibirnya. Masih berharap pertolongan Allah turun.

"Ustadzahku sayang, main petak umpet, ya?" 

Raesha diam seribu bahasa. Notifikasi baterai habis, terdengar lagi sebelum Raesha terpaksa mematikan ponselnya. Ia berharap pria itu tidak mendengarnya karena masih sibuk menghancurkan sisa pintu kamarnya yang terbuat dari kayu solid.

Raesha menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan. Tenang. Jangan takut. Jangan takut. Ada Allah. Ada Allah. Ia berusaha menenangkan dirinya sendiri. Takdir sudah tertulis jauh sebelum dirinya dilahirkan. Jika Allah menetapkan ia mati dibunuh, maka itu akan terjadi. Tapi jika tidak, maka Allah akan menolongnya keluar dari situasi mencekam ini.

Mendadak lampu mati seketika. Raesha terkejut. Sekelilingnya gelap gulita. Hanya terlihat cahaya kilat sesekali dari jendela dapur. Orang itu telah mematikan listrik seluruh rumahnya dan juga lampu taman.

"Supaya makin seru main petak umpetnya, sengaja lampu saya matikan! Ayo kita mulai main petak umpetnya, Ustadzah! Tunggu saya datang!"

Raesha menangis, teringat anak-anaknya. Ia kini malah tidak berharap Ismail dan Ishaq pulang. Jangan pulang! Jangan ke sini!! 

.

.

Yunan tiba di bandara Soekarno-Hatta. Dadanya sejak tadi di pesawat bergemuruh, entah kenapa. Ia menunggu di lobi kedatangan. Hujan cukup deras. Tadi pesawatnya sempat berputar arah karena cuaca tidak memungkinkan untuk mendarat. 

Yunan Menyalakan ponselnya. Notifikasi masuk berjejalan. Raesha meneleponnya beberapa kali. Yunan mengabaikan pesan lainnya dan berusaha menghubungi Raesha. Ponsel Raesha tidak aktif. 

Gagal menghubungi Raesha, Yunan beralih menghubungi Adli.

"Assalamu'alaikum, Adli. Kakak sudah di lobi kedatangan."

"Wa'alaikum salam, Kak. Baik, Kak. Supir akan kukasih tahu, supaya jemput Kakak di sana."

"Makasih, Adli."

"Sama-sama, Kak. Kakak sudah sempat baca chat-ku?"

"Belum. Ada apa?"

" ... Mbah putri meninggal, Kak. Siang tadi menjelang Ashar. Meninggal saat salat Zuhur di musholla rumah sakit. Sakit jantung dadakan, kata dokter. Sekarang kedua jenazah sudah ada di rumah duka, sudah selesai dimandikan." Adli menangis saat mengatakannya.

Tangis itu menular ke Yunan. "Allah ... innalillahi wa inna ilaihi raji'un. Ibu gimana?"

"Ibu pingsan, tapi barusan sudah sadar. Sekarang sedang baca Yasiin di samping jasad Mbah Kakung dan Mbah Putri."

"Ya Allah. Dikuburnya besok?" tanya Yunan sembari mengusap air matanya.

"Iya insya Allah, Kak. Besok tolong imami salat jenazah ya, Kak," pinta Adli.

"Insya Allah. Raesha dan anak-anak sudah di rumah Mbah?"

"Belum, Kak. Aku belum cek hape. Coba aku cek, apa ada kabar dari Kak Raesha."

"Oke. Kabarin Kakak kalau ada apa-apa. Tadi ternyata Raesha telepon Kakak, tapi hape Kakak mati tadi pas di pesawat. Kakak coba telepon balik Raesha tapi gak bisa."

"Oke, Kak. Kakak langsung ke rumah duka?"

"Iya. Kakak mau ketemu Ibu dulu. Nanti dari sana, Kakak akan jemput Raesha dan anak-anak."

"Baik, Kak. Aku akan bilang supir untuk pelan-pelan saja. Hujan deras, soalnya."

"Oke makasih, Adli."

Tak lama keduanya bertukar salam, sebelum percakapan telepon berakhir. Supir keluarga Danadyaksa datang dan membawa Yunan pergi keluar bandara.

Yunan mengirimi chat ke Raesha namun statusnya pending. Aneh. Ada yang aneh. Hati Yunan makin getir dibuatnya. Ia merasa harus segera ke rumah Raesha, tapi sebaiknya ia tetap pada rencana, ke rumah duka terlebih dahulu, sebelum menjemput Raesha dan anak-anak.

Pesan masuk dari Adli.

Kak, ternyata Kak Raesha tadi sempat telepon aku, tapi aku tadi lagi sibuk koordinasi sama orang masjid sini, membahas penguburan Mbah putri dan Mbah kakung. Aku coba hubungi Kak Raesha tapi hapenya tidak aktif.

Pesan yang membuat Yunan makin cemas sepanjang perjalanan.

Lindungi Raesha ya Allah. 

Yunan menutup bibirnya. Jantungnya berdebar keras. Ia tahu, ada sesuatu yang tidak beres sedang terjadi, entah apa.

.

.

***

ANXI EXTENDED 2Where stories live. Discover now