Bab 7 - (Bukan) Angka Keberuntungan?

Zacznij od początku
                                    

Nyesel deh. Kalau sampai aku lapar lagi aku harus gimana? Dietku bisa gagal total ini.

Aku menatap kartu parkir di tanganku. Jujur saja aku menyukai angka dua puluh tujuh. Angka yang selama ini kuyakini sebagai angka keberuntungan. Konon, di dunia hitam sana angka dua puluh tujuh memiliki arti seorang perempuan cantik. Dari mana aku tahu? Tantu saja dari Bapak.

Namun, pagi ini angka dua puluh tujuh tidak memberikan keberuntungan yang selama itu kuyakini. Sudahlah aku harus kehilangan banyak energi karena harus berdebat dengan Abang Parkir, Kali ini aku malah bertemu dengan seseorang yang sanggup membuatku seketika mati gaya. Tante Khumaira—mamanya Adam.

Ingin rasanya aku segera berlari kabur dan bersembunyi entah di mana. Tetapi dengan badan seberat dan sebesar ini aku tidak mungkin sanggup melesat seperti ninja dan menemukan tempat untuk bersembunyi dengan cepat.

Duh, mati aku!

"Astuti ... Kamu Astuti, kan?" Beliau menyapaku yang susah payah mencoba untuk melipir dari pandangannya.

"Ah, Tante. Assalamualaikum, Tante. Tante apa kabar?" Aku meremas ujung sweeter yang kupakai setelah menyalami dan mencium punggung tangan Tante Khumaira.

Parahnya, aku baru menyadari jika sweeter yang kupakai saat ini adalah sweeter milik Adam yang semalam ia pinjamkan saat terjebak hujan di minimarket dekat rumah.

"I-Itu sweeter kepunyaan Adam, kan? Oh, jadi semalam Adam main ke rumah kamu dan sweeter-nya ketinggalan?" Tante Khumaira terlihat menebak-nebak alasan kenapa sweeter milik anaknya sekarang kupakai. Aku tersenyum kikuk tak tahu harus mulai dari mana menjelaskannya.

"Kalian balikan?" Mataku membola demi mendengar ucapan Tante Khumaira.

Aku melambaikan kedua tanganku untuk mengkonfirmasikan apa yang aku pikirkan. Tetapi rupanya Tante Khumaira tidak mencerna bahasa isyaratku dengan baik.

Tante Khumaira malah mencubit gemas pinggangku yang lebar, "Makanya kalau masih sayang, bilang. Biar Tante yang datang ke rumah kamu sekalian bawa lamaran."

Eh, gimana?

Tante Khumaira terlihat sangat santai saat mengucapkan kalimat yang seketika membuat jantungku seolah menjalani lari marathon tanpa garis finish.

Hai, jantung, istirahat dulu, dong. Capek.

Jika semalam kembali berhadapan dengan Adam saja sanggup membuatku salah tingkah, maka kali ini saat harus berhadapan dengan mamanya adalah bencana. Aku mati gaya dan tak tahu harus bagaimana.

Sumpah demi apa pun, meski aku tidak lagi menganggap beliau sebagai calon mertua karena hubunganku dan Adam telah kandas, tetapi tetap saja keringatku mengalir deras di hadapan wanita berparas ayu dengan senyumnya yang menawan meski telah memasuki usia emas lima puluh sekian tahunan itu.

"Duh, maaf banget, Tan. Tante Nirmala, saya pamit duluan, ya? Mau nyusul Ibu ke dalam pasar. Takut Ibu kesasar." Aku melayangkan alasan yang sama sekali tidak masuk di akal mengingat Ibu adalah orang yang sangat menghafal daerah pasar itu. Entahlah aku mendadak kehilangan banyak kosa kata begitu mendengar kata lamaran tadi.

"Eh, siapa itu Tante Nirmala?" tanya orang di hadapanku dengan ekspresi wajah bingung.

"Ah, gimana, Tan? Tante Nirmala? Siapa Tante Nirmala?"

Aku bingung sendiri dan mengulang pertanyaan yang sama. Hadeh, Astuti! Malu-maluin diri sendiri dasar. Bisa-bisanya salah menyebut merk coba?

"Hems, kamu ini. Masa nama Tante saja sudah dilupain. Kalau putus cinta, jangan sampai putus tali silaturahmi juga, dong." Wanita di hadapanku itu mencolek pelan daguku dan perlakuannya membuatku semakin gemetaran.

"M-Maaf banget Tante. Mulut Tuti kadang-kadang memang suka belibet kalau lagi panik. Maaf banget, ya?" Aku menggenggam kedua tangan Tante Khumaira. Aku menatapnya lekat dengan sejuta rasa bersalah. Aku menggigit bibir saking bingungnya.

"Iya udah, enggak apa-apa. Tante tuh kangen banget sama kamu. Sekarang enggak ada lagi yang suka nyicipin kue bikinan Tante. Kamu main-main ke rumah, dong."

Wanita yang memakai gamis dan juga hijab lebar itu tersenyum tipis sebelum memukul pundakku dengan lembut. Melihat matanya, aku tahu kalau beliau memang tulus menyayangiku. Entah bagaimana nasibku di masa depan kalau aku mendapatkan calon mertua lain selain beliau. Tapi, Adam, ah, sudahlah.

Aku tersenyum tipis dan menundukkan wajah untuk menanggapi ucapan Tante Khumaira. Aku tidak berani berjanji, tetapi untuk menolak pun rasanya terlalu berat.

"Ya sudah, Tante duluan, ya? Salam buat Ibu kamu. Kapan-kapan kalau kamu ada waktu dan Adam lagi enggak di rumah, kamu main ya?"

"I-iya Tante, Insyaallah." Aku menyanggupi permintaan Tante Khumaira.

Aku melambaikan tangan dan menganggukkan kepala saat beliau mulai berjalan menjauh.

Tiba-tiba saja aku teringat pada sosok Adam, tidak biasanya dia membiarkan Tante Khumaira pergi ke luar rumah sendirian, ke mana dia?

Saat aku memutar tubuh dan akan berjalan menuju pintu masuk pasar, tiba-tiba saja aku bertabrakan dengan seseorang.

"Aww ..." Aku mendongak dan menemukan wajah yang tidak asing, "Adam?"

Sumpah demi apa pun, apakah angka 27 yang saat ini kugenggam benar-benar bukanangka keberuntungan!

***

Siapa yang kangen sama Ndut? 

Maafkan Ndut sempat gak update 2 minggu ini. Supaya autornya tetap semangat, boleh dong kasih tanda-tanda kehidupan di cerita ini, baik komen atau bintang atau keduanya.

Terima kasih buat Teman-Teman yang sudah setia sama Ndut!

Ndut, Balikan, Yuk! by Annie FM.Opowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz