8 🏥 Kisah Indahku - Bagian 3

17 4 18
                                    


Siang ini Imam menyaksikan aku memasukan cincin ke dalam jari manis sebelah kiri. Aku bisa melihat dengan jelas dari raut wajahnya terpancar kebahagiaan.

"Kamu terima lamaran aku?" Imam tampak tak percaya dan butuh validasi.

"Gimana jadi? Mau nggak cincinnya aku pakai? Apa aku lepas lagi aja?" ujarku.

"Jangan, Yasmin! Jangan... aku mau kamu selalu pakai cincin itu! Makasih banyak Yasmin... makasih banyak!"

Aku tak percaya pemuda tampan nan gagah itu meneteskan air mata.

"Kamu kenapa, Mam?" Aku terheran.

Pemuda itu menghapus butiran bening yang sudah terlanjur keluar. "Nggak apa-apa, Yasmin... aku terharu. Aku bahagia! Aku janji nggak akan nyakitin kamu. Aku akan selalu jaga kamu dengan baik!"

"Jangan janji saat kamu sedang bahagia!"

"Aku tulus menyayangi kamu, Yasmin!"

"Aku percaya itu, kok! Tapi... keluarga kamu dan kamu sendiri apa nggak keberatan? Sekarang orangtuaku sudah berpisah. Aku belum lulus kuliah, sedangkan kamu sudah mau S2. Apalagi sejak kejadian jatuh dari tangga itu, fisikku seperti melemah. Aku khawatir gak bisa maksimal jadi istri."

"Aku dan keluarga tahu itu dan kami tidak mempermasalahkan."

Aku pun tersenyum. "Makasih banyak, ya, sudah menyayangi aku dengan tulus. Tapi maaf, Imam... untuk sekarang aku benar-benar tidak ada perasaan sayang ataupun cinta. Lebih tepatnya mungkin belum ada."

"Nggak apa-apa Yasmin... tandanya kamu sedang berusaha untuk mencintai aku. Makasih banyak, ya."

Dirawat kali ini tidak lama. Hanya dua hari saja. Karena bertepatan dengan libur semester, aku pun pulang ke Sumurkondang. Baru dua hari di rumah, Rere main. Berhubung lelaki itu ada di sini, aku berkabar tentang lamaran Imam. Namun, respon pemuda itu benar-benar mengejutkan.

"Yasmin, kamu nggak bercanda, kan?" tanya Rere.

"Enggak, A. Kenapa memangnya?"

"Siapa yang sudah berani lamar kamu?"

"Imam Malik... kenal, kan?" tanyaku.

"Kakaknya Vino?"

"Iya!" Aku mengangguk.

"Kenapa sebelum terima lamaran dia nggak bilang dulu sama aku?" Rere terdengar emosional.

"Karena akhir-akhir ini kita jarang komunikasi. Bahkan kamu susah dihubungi." Aku terdiam. "Kenapa emangnya?" imbuhku.

"Yasmin... kenapa kamu buru-buru terima lamaran orang?"

"Aku nggak buru-buru. Aku butuh seseorang untuk mendampingi hidupku. Aku butuh penyemangat, kamu tahu sendiri bagaimana hubunganku dengan Ibu sejak aku kuliah. Rasanya aku ingin pindah saja hidup bersama orang yang benar-benar menyayangi aku."

Rere menghela napas. "Maaf Yasmin, aku turut prihatin dengan perceraian ibu dan ayahmu." Pemuda itu memejamkan mata, sesaat kemudian kembali membukanya. "Tadinya aku yang mau melamar kamu, Yasmin"

Aku terkejut mendengar ucapan Rere.

"Lawakan kamu nggak lucu, A."

"Aku nggak lagi ngelawak apa lagi bercanda. Aku serius mau melamar, menjadikan kamu istri aku!"

"Terus, kenapa nggak lamar aku dari dulu?" Aku protes.

"Karena pikirku kamu mau nikahnya nanti, setelah lulus kuliah. Aku sedang menabung untuk mengimbangi gelarmu!"

Aku terdiam. Aku bingung. Kenapa Rere seserius itu?

"Maaf, A... tapi aku udah terima lamaran Imam. Aku memang berniat ingin menikah setelah lulus. Tapi... kalau ada yang datang melamar. Insya Allah aku siap menikah. Lagipula dengan keadaan rumah tangga orangtua yang seperti ini, aku butuh tumpuan hidup."

Tiada Cerita Seindah Kisahmu [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang