“Emang anjir lo pada," ujar Jendra berlalu begitu saja.

Sementara di tempat lain, Yesmin yang baru saja selesai berdandan berniat pergi ke kamar mandi untuk buang air kecil. Karena sehabis makan tadi ia langsung ke kamar dan sibuk berdandan, Yesmin sampai tidak tahu kalau kran kamar mandi tengah diperbaiki yang membuat lantainya jadi semakin licin. Entahlah apa yang Jendra gunakan sampai lantai tersebut menjadi seperti itu.

Alhasil Yesmin hampir saja jatuh jika tidak ada yang memeganginya.

“Ya Tuhan, hampir aj—”

Sorry, kran kamar mandinya lagi diperbaiki.” Jendra melepaskan tangan Yesmin, kemudian menggaruk kepalanya yang tak gatal.

“Terus ini kenapa banyak sabun?”

“Ini tadi Shasha habis cuci baju. Terus krannya nggak bisa nyala, jadi gue benerin dulu.”

Yesmin memperhatikan keadaan laki-laki yang ada di depannya ini. Terlihat sangat berantakan dengan rambut yang setengah basah. Ditambah lagi rambut yang hampir menutupi kedua netra Jendra sampai-sampai membuat Yesmin gemas sendiri ingin merapikan poni tersebut.

“Berantakan banget, sih?” Yesmin menyibakkan poni Jendra yang menghalangi pandangan laki-laki itu. “Rambut lo udah mulai panjang. Kayaknya udah waktunya buat lo potong rambut.”

“Ha?”

“Lo harus potong rambut, biar mata lo nggak ketutupan poni. Mau gue potongin nggak nanti?”

“Ha?”

“Ternyata rambut panjang lo bisa bikin pendengaran lo jadi terganggu, ya,” ucap Yesmin sembari terkekeh pelan. “Benerin krannya dulu. Habis itu gue bantu potongin poninya.”

Tanpa mereka sadari. Dari kejauhan ada seseorang yang berhasil menangkap momen tersebut. Sebuah pemandangan yang sangat lucu bagi siapa saja yang melihatnya—dengan Yesmin yang masih berusaha menyingkirkan rambut panjang milik Jendra yang mengganggu pandangan laki-laki itu.

“Lucu juga nih dua orang kalau dilihat-lihat.”

•••••••••••••••••

“Buku-buku yang kemarin baru aja dateng, mau kapan dipindahinnya?”

Laptop, proposal dan makanan ringan menemani Karin mengerjakan laporan harian. Perempuan itu bahkan sudah menyiapkan teh hangat untuk pendamping cemilan-cemilan itu. Sangat cocok dinikmati di cuaca yang dingin ini. Yang perlu diingat, mau pagi, siang atau malam sekalipun Desa Weringin selalu diselimuti hawa dingin. Jika di luar kota sana lumrahnya akan terasa sangat panas di siang hari, sementara di desa ini hanya terasa hangat.

“Minggu besok aja. Tinggal mindah terus nata doang. Habis itu selesai. Kita juga jadi bisa lebih fokus sama bank sampah ini.”

Karin hanya mengangguk lalu kembali menyeruput tehnya.

Suasana tampak begitu canggung setelah tidak adanya lagi obrolan. Sebenarnya Renan ingin mengajak perempuan itu berbincang lebih lama, tapi ia sudah kehabisan topik. Mau bahas apalagi emangnya? Semuanya sudah ia tanyakan kepada perempuan itu. Karin juga sepertinya masih sibuk dengan laptop yang ada di hadapannya.

Jadi untuk mengisi kecanggungan ini, Renan hanya bisa memperhatikan gerak-gerik Karin. Perempuan itu sudah tak sekaku dulu waktu pertama kali bertemu di kantin teknik untuk membahas perihal survey kegiatan KKN. Renan bersyukur akan hal tersebut.

"Kenapa lihatin?"

Renan gelagapan. Pasalnya ia yakin kalau Karin tak ikut balik memperhatikannya. "Ohh, itu. Gue gabut," seru Renan dengan tawa canggungnya.

Dalam hati Renan meruntuki ucapannya itu. Gabut apanya? Kenapa harus kata gabut yang keluar?

Hmmm, kalau gitu gue boleh minta tolong nggak?”

“Minta tolong apa?”

“Ini...” Karin mendekat ke arah Renan. Memperlihatkan halaman laptopnya yang sedari tadi ia kerjakan. “Minta tolong buat dilanjut ya. Tinggal 10 paragraft doang, kok. Nggak ngerepotin, kan?”

Mau dibilang iya pun rasanya Renan tidak enak. Jadi hanya satu jawaban yang terpaksa laki-laki itu berikan, “Oh ini? bisa kok. Tenang aja nggak bakal ngerepotin."

Thanks, ya.”

Yang sialnya berhasil membuat Renan terdiam beberapa detik karena tidak menyangka akan mendapatkan sebuah senyuman manis dari mantan kekasihnya dulu. Laki-laki itu termenung. Bingung mau memulai sisa pekerjaan Karin. Sampai akhirnya Renan mendengar sayup-sayup suara dari arah depan kamar perempuan. Dilihatnya di sana, ternyata ada Yesmin yang sibuk dengan gunting di tangannya. Sementara Jendra berada tepat di depan perempuan itu sembari menunjukkan wajah pasrah.

"Merem dulu, Jen. Kalau nggak merem, ntar lo kelilipan.”

“Gue takut."

"Takut kenapa?"

"Poninya nggak rata."

"Percaya sama gue, pasti rata. Percaya, kan?"

"Iya...percaya."

Melihat interaksi itu, Renan hanya menggelengkan kepalanya pelan. Ada-ada saja memang kelakuan teman satu KKN-nya. Namun karena itu juga membuat tangan Renan yang tadinya menjadi penopang tubuh, perlahan meraih poni yang ada di dahi. Merabanya secara seksama. Ia pikir poninya juga mulai memanjang.

Mungkin nanti Renan akan bergabung setelah selesai giliran Jendra. Itupun kalau Yesmin masih mau membuka sesi pangkas rambut gratisnya.

“Yes..."

"Apa?"

"Lo bisa motong rambut, kan?"

"Bisa."

"Tapi gue jadi nggak yakin."

"Diem dulu makanya."

"Poni gue adalah segalanya. Gue nggak bisa hidup tanpa poni gue."

Yesmin mendengus, laki-laki ini terlalu banyak bicara, begitulah batinnya. "Yang bener kita nggak bisa hidup tanpa oksigen. Udah, mending lo diem daripada gue salah motong."

Jendra menuruti perintah Yesmin. Dengan harap-harap cemas, Jendra mencoba berdoa di dalam hati agar poni badainya baik-baik saja di tangan Yesmin. Agar tidak perlu ada yang disesalkan setelah menerima tawaran dari perempuan itu.

Tak perlu menunggu waktu lama, akhirnya mahakarya Yesmin pada poni Jendra selesai juga. Perempuan itu mengambil sebuah kaca yang tergeletak tak jauh darinya, kemudian berseru heboh, "JADIII."

Mendengar seruan itu membuat Jendra langsung membuka kedua kelopak matanya. Memposisikan wajah tepat di depan cermin kecil berganggang pink milik Yesmin. Dan yaa....Jendra dibikin merinding melihatnya.

"Cakep, kan?"

"I...iya."

"Gue juga bilang apa. Gue tuh jago motong poni. Lo jadi makin ganteng deh."

Sebenarnya nggak ada yang salah dari poni baru miliknya. Namun poni yang semula lumayan panjang, kini mendadak menjadi sebatas kening bagian atas—alias sangat pendek dan Jendra hampir menangis karenanya.

"Ihhh, udah ganteng makin lucu lagi," ucap Yesmin yang berbangga hati.

Jendra memang tampan. Apapun yang laki-laki itu kenakan pasti akan cocok meskipun seaneh apapun bentuknya. Termasuk poni barunya ini.

Sedangkan Renan yang semula ingin bergabung, langsung membatalkan detik itu juga. Ia tak mau membuat poninya sama seperti Jendra. Hal itu benar-benar sangat horor sekali. Membayangkan keningnya terpampang nyata dengan poni yang hampir terbabat habis berhasil membuat Renan bergidik ngeri.

"Ganteng apanya? Muka gue jadi kayak telur rebus," batin Jendra.

Tapi karena Yesmin yang memotong poninya, Jendra memakhlumi. Jendra berusaha menyukainya. Apapun yang dilakukan perempuan itu kepadanya akan selalu Jendra senangi. Termasuk memotong poni berharganya barusan.

Ingat, ini hanya berlaku untuk Yesmin. Tidak untuk perempuan yang lain.


To be continued.

Dear, KKNWhere stories live. Discover now