"Apaan sihh, pake disensor segala?" Aku terkekeh kecil.

"Udah biarin aja. Biar otak lo, nggak ternodai. Ha-ha-ha-ha."

"Ha-ha-ha-ha. Aduh, masih sakit perut guee." Aku segera memegangi perutku yang kembali terasa nyeri. Frank yang panik, refleks memegangi perutku juga. Namun, dia hanya memegang punggung tanganku saja.

"Asli, bang. Kalau lo bukan abang gue, kayaknya gue udah jatuh cinta sama lo, dehh." Ucap ku asal. Frank langsung meraup wajahku agar aku kembali sadar.

"Lo gila, ya?! Gue bersikap gini biar lo nggak gampang baper sama laki-laki... Jangan malah baper beneran sama guee." Ucap Frank sambil menatap dalam mataku, deg-degan juga aku ditatap seperti itu oleh nya.

"Asal lo tau, ya... Jaman sekarang banyak laki-laki brengsek yang cuma cari mainan doang. Cuma dijadiin pelampiasan." Ujar Frank dengan serius. "Jadi, meskipun gue sama brengseknya... Seenggaknya gue ngga se brengsek itu, biarin adik gue jadi korban juga."

Aku diam sebentar menatapnya, "Kok, malah jadi dalam gini, sih. Pembahasannya??"

"Yaa gue cuma ngasih lo bekal aja. Supaya kalau lo bakal jatuh nantinya, lo nggak akan jatuh sejatuh-jatuhnya."

Aku hanya mengangguk padanya.

"Perut lo gimana?? Masih sakit?"

Aku mengangguk lagi. "Bang..."

"Apaan??"

"Kayaknya gue tau, dehh. Kenapa gue jadi sakit perut kayak gini?"

"Jadi, kenapaaa?"

"Kemarin malem sebelum gue minum es kopi, kan gue minum es durian sama temen-temen." Ujar ku, sambil sedikit tersenyum tipis padanya. Gengsi juga aku, cukup takut saat melihat wajahnya yang berubah lebih datar dari sebelumnya.

*****

"LO emang settingannya segila ini, ya, Fu??" Tanya Frank, yang entah ia tujukan kepada siapa? Aku hanya diam melihatnya menyetir mobil di sampingnya. Sesekali dia menarik rambutnya, lalu ia lepaskan lagi. Mungkin dia merasa terlalu frustasi menangani aku.

"Asli. Gue punya adik cewek satu, kok... gini banget, ya??" Frank menggelengkan kepala sejak tadi, tak habis pikir sepertinya.

Aku menyentuh lengannya, "Sabar, ya, bang." Aku membuat bibirku menjadi satu garis dan menganggukkan kepala padanya. "Iya cabal yaa, bang..."

Frank terkekeh kecil karena aku, "Lucuuuu? Gue turunin lo dipinggir jalan, mau??" Frank benar-benar menghentikan mobilnya di pinggir jalan.

Aku terkejut, dan menggeleng padanya. "Jangan, bang!" Pintaku. Tidak lucu bagiku, jika aku harus turun dan berdiri sendiri di pinggir jalan.

"Gue tinggalin lo sendirian, mauu?" Tanya Frank padaku, dia menatap ku tajam.

"Gue mohon, jangan, bang!" Pintaku lagi. Sungguh, sangat menyebalkan saat melihat Frank kembali berubah dingin seperti dulu. Dia yang kasar, keras, dan penuntut adalah sikap yang sangat aku benci darinya.

Aku hanya bercanda, itu bukan untuk memancing emosinya. "Aduuh, Fuji... Lo bodoh kali inii!" Batinku tak henti memaki diriku sendiri.

Untungnya, Frank masih mendengar pintaku. Dia tak sekejam itu menurunkan aku di pinggir jalan saat malam hari seperti ini.

Selama sisa perjalanan, kami hanya diam dan tak saling bicara, apalagi kembali melontarkan candaan sampai tertawa bersama.

Aku hanya diam memandang jendela mobil, sedangkan Frank fokus menyetir mobil. Kenapa sangat mencekam seperti ini??

Hingga saatnya kami tiba di tujuan, Frank turun lebih dulu dariku tanpa mengucapkan sepatah katapun. Aku menghela napas melihat sikapnya itu, lalu bergegas keluar menyusulnya.

"Bang, Frank. Tunggu gue, bang!" Panggil ku, namun dia tak bergeming.

"Bang, gue minta maaf... Gue cuma bercanda, bang. Maafin guee." Aku memegang tangannya, namun segera ia tepis dengan kasar.

"Cuma orang yang nggak punya otak yang bercanda di waktu yang nggak tepat!" Tegas Frank. Dia melanjutkan langkah kakinya. Tak memperdulikan aku yang berjalan lambat di belakangnya. Bukan karena aku yang tak bisa mengejarnya, namun karena aku yang masih menahan sakit pada perutku. Beberapa orang terlihat bingung melihat kami, tapi mereka hanya diam.

Kami duduk di kursi tunggu sambil aku yang memegang nomor antrian. Kutanya pada orang di sampingku, sudah nomor antrian berapa sekarang? Setelah mendengar jawabannya, itu berarti aku hanya menunggu lima antrian lagi.

Satu

Dua

Tiga

Empat

Di antrian ke lima, aku segera masuk ke dalam ruangan dan sedikit terkejut saat melihat Frank yang ikut menemaniku masuk ke dalam.

"Assalamu'alaikum, dok." Sapaku.

"Wa'alaikumussalam. Silahkan duduk. "

Dokter Pamungkas menerima nomor antrian milikku tadi dan ia masukan kembali kedalam tempatnya. Dia beralih menatap kami bergantian. "Siapa yang sakit?"

"Saya, Pak." Aku menjawabnya. "Perut saya sakit, karena kemarin saya meminum es kopi setelah meminum es durian."

"Ooh, begitu?? Es durian nya satu gelas atau dua gelas?"

"Hanya satu gelas."

"Nahh, itu... Harusnya kamu membeli dua. Satu untuk mu dan satu untuk Pak Dokter." Ujarnya, membuatku tersenyum lebar. Sedangkan Frank tertawa di sampingku.

"Berapa lama jeda waktunya?"

Aku mengingatnya, "Sekitar satu jam."

Dokter Pamungkas mengangguk, "Iya, itu karena keduanya tak bisa dikonsumsi bersamaan. Harusnya diminum dengan jeda waktu yang lebih lama."

"Meminum keduanya, sama seperti meminum obat bersama minuman bersoda ya, Dok?" Tanya Frank.

Dokter Pamungkas mengangguk lagi. "Iya. Itu menjadi racun."

Aku meringis dan mengangguk, pantas saja perutku sangat sakit.

"Iya sudah saya periksa dulu, silahkan berbaring di sana." Ucap sang Dokter sambil menunjuk ranjang di sebelah meja kerjanya.

"Rasanya sangat sakit, dok. Apa karena asam lambung saya naik juga?" Tanya ku, sambil melangkah dan berbaring di ranjang.

"Iya, betul. Nanti saya buatkan resep untuk asam lambung nya juga." Dokter Pamungkas mulai mengecek tensi darah ku, pernapasan ku dan perutku. "Mau disuntik, tidak?"

Aku hanya mengangguk.

Selang menunggu beberapa menit, aku masih harus berbaring sebentar setelah disuntik tadi. Sedangkan Dokter Pamungkas sudah memberikan obat untuk ku pada Frank, dan langsung dibayar oleh abangku itu.

"Sudah cukup, Mbak Fuji."

Aku segera bangkit dan duduk sejenak di ranjang.

"Ayooo, atau mau gue seret??" Bisik Frank padaku, hanya aku saja yang mendengarnya.

"Nggak. Jangan, bang." Balasku dengan tak kalah berbisik.

"Terima kasih, Dokter Pamungkas." Ucap ku sambil menyusul Frank yang sudah keluar lebih dulu.

Dokter itu mengangguk. "Ya, sama-sama."

*****

Bersambung...

Nggak bisa ngomong banyak lagi dehh. 😕 Ikut sakiit hati soalnya, saat Fuji disakitin sama Frank, abangnya sendiri. 😖

Tapi, kita sama-sama berdo'a saja ya biar Frank kembali baik lagi ke Fuji... 😊

Thank you, next. 🤩🤩🤩

I BelieveWhere stories live. Discover now