"Still doesn't make any sense to me." Dia menggeleng keras dan mengembalikan ponselku. "What's so romantic about Camden Market? It's just an over-crowded market—you saw it yourself. What do you wanna see in Highgate? A cemetery? And Hackney? Oh, Taylor Swift clearly lied when she said she enjoyed nights in Brixton. I doubt she ever went to Brixton at night."

"I doubt it too, but I went there and the London boy who brought me to Brixton at night was drunk." Berani-beraninya Andrew mencela lagu yang selama ini kujadikan lagu kebangsaanku. Bukan hanya karena Andrew, melainkan London itu sendiri.

Andrew akhirnya diam.

"You said these places aren't romantic, do you? That's the point. Doesn't matter what places she visits, as long as she is with her London boy, she enjoys every moment in London." Mungkin kesabaranku tidak setipis tisu karena aku berhasil menjelaskan makna dari lagunya pada Andrew.

Namun, sepertinya tidak setebal itu juga karena Andrew kini kembali tersenyum miring. "Oh, that's what you're trying to say to me? So you enjoy every moment in London as long as you are with me? Your London boy?" Andrew kini menyandarkan kepalaku pada bahuku, menghentikan detak jantungku. "I see your vision now. I like this song."

Aku tidak habis pikir dengannya. Andrew benar-benar berbahaya sekarang. Dia tidak segan-segan untuk menyerangku dengan rayuan mematikannya. Keberadaan Andrew saja sudah cukup mengintimidasi, apalagi sifatnya yang genit seperti ini? Ke mana Andrew yang pendiam dan malu-malu itu? Tertinggal di London?

Selama sisa 30 menit dalam kereta yang membawaku dari London ke Manchester, Andrew terus memutar lagu London Boy, dia mengajakku untuk ikut mendengarkan menggunakan earphone-nya—agar seperti di film-film—tetapi aku menolaknya karena malu dan muak. Aku hanya memperhatikan jendela kereta yang memasuki wilayah Manchester, sesekali membalas pesan dari keluarga dan teman-temanku, termasuk Sabil dan Nerissa yang menggila karena aku mengabaikan pesan mereka dari kemarin dan tiba-tiba mengabari bahwa aku ke Manchester bersama Andrew. Aku menceritakan garis besarnya saja melalui pesan grup kami bertiga dan telah sepakat menggunakan Tatang sebagai nama samaran Andrew. Aku merasakan kepala Andrew yang masih bersandar pada bahuku bergerak, barangkali mengintip layar ponselku—beruntung dia tidak mengerti bahasa Indonesia.

Atau dia diam-diam mengerti isi pesannya?

Kukunci layar ponsel. Andrew tampaknya menyadari pergerakanku ini, dia menarik kepalanya dari bahuku dan kami saling berhadapan; pria itu melepaskan earphone dari telinganya. "Ada yang ingin kutanyakan," kataku.

"Bukannya dari tadi kita sudah tanya-jawab?" Dia melipat kabel earphone dengan rapi. Katanya dia tidak suka wireless earphone karena malas mengisi daya baterainya. "Tanyakan saja. Aku bersedia melakukan tanya-jawab denganmu seumur hidupku."

Aku mengatup bibir untuk menahan senyum, berusaha sekuat tenaga menunjukkan bahwa aku tidak tersipu olehnya. Kembali ke tujuan awal. "Bagaimana bisa kau mengerti isi jurnalku?"

Andrew terkekeh, topik tentang jurnal bukan lagi bahasan sensitif sekarang. Bisa dibilang jurnal menyatukan kami.. "Google Translate," jawabnya.

"Did you scan every page?"

"No, I typed every word of it."

Lagi-lagi tidak habis pikir dengan jalan pikiran Andrew.

"Lihat betapa besar usahaku?" Mata Andrew beralih ke jendela, lalu mengecek jam tangan. "Kita sudah sampai. Selamat datang di Manchester."

Sontak aku membalikkan badan, memandangi stasiun yang menjadi gerbang ke kota favoritku (karena Manchester United). Zevania yang berumur 10 tahun pasti amat sangat kegirangan mengetahui bahwa dia berhasil mengunjungi kota ini. Ya, dulu aku lebih suka Manchester daripada London (karena Manchester United.)

Journal: The LessonsWhere stories live. Discover now