It's about to start.

152 17 1
                                    

Terus merengek. Anak laki-laki berumur tiga tahun itu bahkan tidak menghiraukan orang dewasa di sebelahnya yang sedang kebingungan mengecek berulang seluruh saku di celana maupun kemejanya untuk mencari dompet.

Melupakan pula dua orang di belakangnya yang kini menunggu giliran mereka untuk membeli.

Itu adalah stan penjual es krim di salah satu Taman Bermain Pusat Kota yang selalu ramai ketika sore hari tiba.

"Dad... please... ya... yaaa... Elio mau yang cokelat!" Masih merengek memandang gambar-gambar es krim dan penjual yang kini hanya berdiri diam karena menunggu pelanggan di depannya mengatakan sesuatu.

"Dad please... sat-"

"Dompet Daddy hilang-"

"Sorry," Suara itu nyatanya mampu membuat rengekan Elio berhenti sejenak dan seseorang yang dipanggil Daddy itu juga segera menghadap ke samping untuk atensi penuh. "Jika berkenan, bolehkan saya membayar es krim untuk anak manis ini?"

Meski wajahnya memasang raut kentara tidak setuju, laki-laki dewasa itu memilih mengangguk setelah beberapa detik berlalu dalam keheningan. Si penyela tersenyum lantas memesan dua es krim cone rasa cokelat untuknya dan anak manis yang baru saja berhenti merengek itu.

"Thank you Miss." Katanya setelah sang putra menerima es krim dari si perempuan.

Si perempuan tersenyum lebar dan mengangguk, "Ya.. sama-sama," jawabnya. "Enjoy your ice cream." Tangan kanannya mengelus surai lembut anak kecil tersebut.

"Elio Aunty." Masih dengan menjilati es krimnya sesekali, ia mengucapkan namanya.

"Oh! Hai Elio, nice to meet you!" Sapanya kemudian. Ia berjongkok untuk menyejajarkan tinggi.

"Nama Aunty tiapa?"

"Sierra..."

Anak itu mengangguk dengan lucu, "Telima kasih es klimnya Aunty." Katanya sekali lagi.

Detik berlalu, merasa tidak ada yang perlu dia lakukan lagi, ia pamit undur diri lalu si laki-laki dewasa kembali berterima kasih sebelum si perempuan beranjak dari sana.

Ia adalah Sierra Raquel. Perempuan berusia dua puluh dua tahun yang kini berprofesi sebagai salah satu pemilik Wedding Organizer di Kota tersebut. Perempuan yang siap melepas masa lajangnya di usia muda namun ia justru dikecewakan oleh keadaan satu minggu sebelum hari pemberkatanya diadakan.

Untuk yang kesekian kalinya, ia berjalan memutari taman dalam satu minggu belakangan hanya untuk melepas penat. Segala hal yang berada di kepalanya membuat ia ingin sekali menangis tetapi tak kunjung terjadi. Air mata seperti enggan menyapa pipi miliknya barang sebentar saja.

Masih dengan membawa cone ice cream yang baru saja ia beli. Sierra mendudukan diri di kursi panjang paling ujung.

Rencananya bukanlah rencana Tuhan. Sebanyak apa pun ia akan berteriak melakukan protes, hari itu sudah terlanjur berlalu. Menangis pun percuma. Yang dapat ia lalukan sekarang hanyalah melanjutkan semuanya seperti seolah rangkaian kegiatan yang pernah ia lalui bersama sang terkasih tidak ada.

"Aunty!" Sierra terkesiap. Ditarik paksa dari lamunan oleh teriakan anak kecil di depan dirinya yang masih duduk memegang cone ice cream.

"Ya—Yaaa..."

"Es klim Aunty meleleh." Katanya sekali lagi sembari menunjuk tangan kanan Sierra. Perempuan itu terkekeh pelan.

"Haha terima kasih sudah mengingatkan Elio." Anak laki-laki itu mengangguk lucu. Sepasang kakinya kembali berjalan sedikit ke depan untuk berakhir duduk secara sembarangan di bak berisi pasir.

12. One Day at a Time | TWOSHOOTWhere stories live. Discover now