26. Damn It!

408 69 8
                                    

“Mas, kenapa kamu nggak jujur kalau anakmu masih hidup?”

Di Minggu yang cerah ini, Mara mencoba mengajak Roberto bicara mengenai anak kandung yang pria itu sembunyikan. Beruntung, Aletta dan Andrean sedang izin ke mal, membuatnya leluasa berdiskusi mengenai anak sang suami.

Mendengar pertanyaan istrinya, tentu Roberto kaget. Dia menoleh dengan kedua mata membulat sempurna. “Ka-kamu ngomong apa coba?”

“Aku tau, loh, Mas, kalau anak kamu masih hidup. Kenapa bohong coba? Mas nggak mau aku ketemu dia? Padahal bagus, kan, dia bisa hidup bareng kita. Aku bakal sayangi dia kayak anak aku sendiri, kok. Kamu nggak percaya sama aku?”

“Bukan gitu, Mara.” Roberto menghela napas, meletakkan koran yang sejak tadi dia baca. “Aku cuma takut Andrean sama Aletta nggak bisa nerima dia.”

Mendengar pengakuan suaminya, Mara melotot kaget. “Loh? Kamu nggak percaya sama anak-anak, Mas? Aku malah baru tau soal dia dari anak-anak, loh. Katanya satu sekolah sama mereka, kan? Mereka pengen banget deket, tapi anakmu terlalu dingin. Mungkin, kalau dibawa tinggal sama kita, dia bisa akrab sama saudara-saudaranya. Ini permintaan Aletta sama Andrean juga, loh, Mas.”

Roberto terdiam sejenak, tubuhnya membeku dengan pikiran berkecamuk. Aletta dan Andrean meminta Sydney tinggal bersama mereka? Jika tahu begini, sejak awal dia tidak akan mengasingkan Sydney sampai ke negeri orang, membuat gadis itu bertingkah seakan tak lagi mengenalnya.

“Gimana, Mas?” desak Mara. Dia menatap suaminya penuh permohonan, berharap kali ini permintaannya dikabulkan. “Aku pengen, loh, tinggal sama dia, Mas. Siapa tau dia nggak dingin lagi setelah tinggal sama kita. Ayolah, aku juga pengen kenal. Atau kamu sebenernya belum anggap aku ada, makanya kamu nggak mau kenalin ibu baru anak itu ke dia?”

Kalimat Mara tentu langsung membangkitkan rasa bersalah dalam diri Roberto. “Bukan begitu, Mara. Baiklah, aku nanti coba ngomong sama Sydney, ya? Kalau dia mau, bakal aku bawa dia ke sini. Aku juga kesulitan ngomong sama dia.”

Senyum di bibir Mara tersungging lebar, menandakan dia cukup puas pada jawaban yang Roberto berikan. “Aku harap dia mau tinggal sama kita, biar kita bisa akur, makin rame, dan kompak!”

Roberto hanya tersenyum, bangga pada Mara yang mampu menerima Sydney dengan lapang dada kendati gadis itu bukan anaknya. Dia memang tidak salah memilih istri.

“Apa?! Ini apa-apaan, Opa?! Opa bercanda, ya?! Sydney nggak mau!”

Jangan tanya kenapa Sydney murka. Tentu saja dia marah luar biasa. Bagaimana tidak? Sang opa berlagak sok penting memanggilnya, lalu memberi informasi bahwa Roberto meminta Sydney tinggal bersama dia dan keluarga kecilnya.

Tidak sudi! Sampai bumi terbelah menjadi empat belas pun dia tidak akan sudi! Tinggal seatap dengan wanita perebut suami orang, juga dua anak menjengkelkan, sudah membuat Sydney cukup muak hanya dengan membayangkan.

Atas dasar apa Roberto berpikir Sydney akan menerima tawarannya? Apa pria itu sudah gila hingga kehilangan akal? Jelas-jelas Sydney akan menolak mentah-mentah, bisa-bisanya malah diajak pulang.

“Sydney, dengarkan opa dulu.”

Suara sang opa saja tak mampu membuat Sydney diam seribu bahasa. Gadis itu tetap mengomel sebal, tak terima jika lagi-lagi harus mengikuti apa yang opanya mau.

SydneyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang