05. Tak lekang oleh Waktu

9 2 0
                                    

Happy Reading guys💙💙

Saat Gavin hendak keluar dari area pemakaman matanya tak sengaja bertatapan dengan seorang laki-laki yang berdiri memegang setangkai bunga Tulip, melalui kedua obsidian itu Gavin melihat kenangan buruk seorang anak laki-laki tengah menyaksikan berita tentang kecelakaan yang menewaskan kedua orang tua Gavin.

Anak laki-laki itu menangis tapi ada sebuah rasa kecewa juga yang menguasainya. Entah ada hubungan apa anak itu dengan keluarganya, karena saat Gavin tersadar dari penglihatannya laki-laki tadi langsung berlari meninggalkannya.

Gavin berusaha mengejarnya, tetapi dia kehilangan jejaknya.
Sepanjang perjalanan menuju apartemen, Gavin terus memikirkan siapa laki-laki tadi, kenapa dia memiliki kenangan buruk tentang kecelakaan itu? Apa mungkin dia salah satu orang yang menyaksikan kecelakaan itu secara langsung? Harus ke mana dia bisa menemukan laki-laki itu?

Jonathan kembali berkunjung ke apartemen Gavin sembari menyiapkan makan malam yang telah dia pesan dari restoran. Tentu saja hal itu membuat Gavin terperanjat saat dia menuju dapur, Jonathan hanya tersenyum lebar sembari menaruh potongan daging ke atas piring.

“Gue udah bilang, kalau mau datang ke sini bilang dulu!”

“Padahal saya sudah chat kamu, Vin.” Jonathan menunjukkan layar ponselnya pada Gavin.

Memang salah Gavin karena sejak dari pemakaman tadi, dia tidak memeriksa ponsel sama sekali. Ditambah lagi dia masih memikirkan laki-laki yang dilihatnya tadi, Gavin malah duduk termenung tak berselera untuk menyantap makanan yang telah Jonathan siapkan.

Dari pandangannya, Jonathan yakin jika ada hal yang mengganggu pikiran Gavin saat ini. Perlahan Jonathan menyodorkan sesuap nasi ke mulut Gavin, barulah saat sendok itu menempel Gavin tersadar dari lamunannya.
“Kamu lagi mikirin apa, sih? Serius banget, Vin.” Jonathan menyantap daging yang dipesannya.

“Bang, menurut elo. Ada kemungkinan enggak, kalau pas kecelakaan sepuluh tahun yang lalu ada saksi matanya?” Tanya Gavin yang masih menatap makanan di atas meja.

Jonathan menarik nafas sebelum dia mengutarakan pendapatnya. “Kalau menurut saya harusnya ada, tapi kemungkinannya sangat kecil, Vin. Apalagi itu sudah sepuluh tahun yang lalu, bisa saja saksi itu tidak bisa mengingatnya.

Apa yang dikatakan Jonathan tidak sepenuhnya salah, hal itu mungkin saja benar adanya. Apalagi yang dilihat Gavin adalah seorang anak laki-laki berumur sekitar 9 tahun. Namun, Gavin berharap jika laki-laki tadi memiliki informasi tentang kecelakaan itu.

Setidaknya mulai ada titik terang yang dia dapat, walaupun tidak begitu jelas. Gavin akan tetap berusaha untuk mencari laki-laki yang membawa bunga Tulip tadi.

Angin yang berembus melalui celah jendela membuat Rena membuka pintu balkon rumahnya, kedua obsidiannya menyaksikan betapa indahnya rembulan malam ini. Rena sangat menyukai langit malam, meskipun gelap itu tetap warna aslinya. Dengan kata lain Rena adalah orang yang menjunjung tinggi sebuah kejujuran, dia sangat benci jika seseorang berbohong padanya.

Perlahan angin yang terus berembus seakan menerbangkan angannya menuju purnama sepuluh tahun yang lalu.

Rena dan Ibunya menyaksikan indahnya bulan di malam itu. Rena duduk di pangkuan sang Ibu, keduanya terlibat dalam pembicaraan yang cukup mendalam. “Bunda ... Rena boleh nanya sesuatu enggak?” Tanya Rena yang saat itu baru berumur 13 tahun.

Sang Ibu menatap lekat manik mata indah milik putrinya sembari membelai rambut panjang Rena. “Boleh, dong. Emangnya, Rena mau nanya apa?

“Bunda lebih suka, langit di sore hari atau malam hari?”

“Bunda lebih suka ... Malam hari, sebenarnya langit sore hari juga sangat indah hanya saja keindahan itu hanya bertahan untuk sementara. Karena setelahnya langit akan berubah menjadi gelap, tapi langit malam juga tak kalah indahnya, sebab ada ribuan bintang dan juga bulan yang selalu menyinarinya.”

Setelah mengingat kenangan itu, Rena tak mampu menahan air matanya. Dia menangis sembari tersenyum miris meratapi kepergian Ibunya, karena tidak ada hal yang bisa Rena lakukan selain mengenang.

Rena tidak membiarkan siapapun mengetahui kesedihannya, maka dari itu setiap kali ada seseorang yang hampir memergokinya menangis, dia akan segera menghapus air matanya.

Seperti saat ini, tiba-tiba Nathan sudah ada di sebelahnya, lalu memberikan setangkai bunga Tulip kesukaan Rena. Tentu saja Rena terkejut dengan hal itu, karena tidak biasanya Nathan seperti ini.

Pandangan Nathan menatap lurus ke atas sana, Nathan tahu jika Rena sedang merindukan Ibunya. Nathan hanya ingin sedikit menghibur Kakaknya, sebenarnya dia mengurungkan niatnya untuk menaruh bunga itu di makam, karena tadi sore Nathan melihat sendiri Rena tengah menangis tersedu-sedu di makam sang Ibu.

Rena hanya mengulas senyum, menerima bunga yang Nathan berikan. Meskipun Rena masih tak percaya dengan yang dilakukan Nathan, tapi dia berharap adiknya itu bisa lebih terbuka lagi padanya.

Tidak ada percakapan di antara mereka, keduanya menyaksikan langit malam yang bertabur bintang dan indahnya bulan purnama. Berdialog dengan diri masing-masing, tentang masa lalu yang sudah berlalu. Namun kenangannya tak lekang oleh waktu.

*To be Continued...
Semoga kalian suka😇jangan lupa ⭐nya yaa, boleh komen juga🥰
-Arumpoppin-

The ClairvoyanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang