2 | OMELAN MANTAN

113 9 76
                                    

     Lagi-lagi nasib sial menghampiri Adel. Bangun kesiangan, tak ada yang membuatkan sarapan, lebih sialnya lagi tak ada yang menyiapkan segala keperluan dia pagi ini.

     Semua karena Fahreel. Laki-laki itu sungguh seperti virus yang harus dibasmi di muka bumi ini.

     Mengacak-acak rambut berwarna coklat susu Adel menguap. Menyibak selimut dengan kasar lalu berjalan cepat ke kamar mandi.

     Hangatnya air membuat tubuhnya terasa rileks. Angka delapan dia dapati pada ponsel yang layarnya terkena cipratan air. Seharusnya Adel buru-buru, tetapi gerakan santai mengelus pundak seakan tak peduli.

     "Udah jelas terlambat ngapain diusahakan. Kalau telat mah telat saja nggak usah panik jadi orang." Mengutip perkataan Tondi—kakak laki-laki yang kini menduduki bangku kepemimpinan di perusahaan ayahnya—karena Tondi inilah membuat Adel yang terbiasa hidup manja harus mandiri termasuk memilih tinggal di apartemen seorang diri.

     Untuk urusan apartemen dia belum meminta izin kepada sang ibu. Ini agak susah mengingat ibunya begitu posesif terhadapnya.

     Mengenakan rok span di atas lutut dipadukan dengan kemeja pres badan juga blazer berwarna hitam yang senada dengan roknya kini kaki ke jenjangnya dilapisi dengan high heels setinggi tujuh sentimeter.

     Adel tampil cantik dengan make-up full tak lupa juga alisnya yang menambah kecantikan perempuan itu.

     "Okay, sip. Gue cantik banget!" pujinya kepada diri sendiri. Mengambil tas lalu bersiap ke luar dari apartemen mewahnya. Kali ini Adel pun masih harus menggunakan taksi sebagai alat transportasi karena mobilnya masih di rumah.

     Ya, untuk saat ini dia akan menjadi orang biasa, bukan princess yang apa-apa dilayani.

     Adel tidak semena-mena yang terlihat, kok. Dia hanya sedang berusaha santai padahal jantungnya sudah tantrum dan matanya terus saja melirik pergelangan tangan begitu bokongnya berhasil duduk di bangku penumpang. "Jalan cepat, ya, Pak. Sesuai yang tertera di aplikasi."

     Tak mau semakin bodoh dengan menunggu taksi sejatinya Adel sudah bersiap-siap dengan mengorder transportasi melalui telepon genggamnya.

     "Lewat jalan tikus juga nggak masalah, Pak."

     "Baik, Non." Kepala sang supir mengangguk. "Tujuan sesuai yang di aplikasi, ya, Non?" tanya sang supir untuk memastikan.

     "Iya, benar." Setelahnya tak ada perbincangan karena seharusnya memang tidak berbincang.

     Adel pikir cukup di sini saja kesialannya, nampaknya begitu sampai di lobby kantor justru berpapasan dengan pria yang berstatus mantan tersial dan sialnya sekarang menjadi bosnya.

     "Telatnya hampir satu jam kira-kira saya harus bagaimana, Ikbal?" tanya pria itu mengarah penuh kepada sosok lain di belakangnya yang membawakan tas kerja milik Fahreel.

     "Bos—"

     "Ajarkan sekertaris ini bagaimana caranya bekerja. Dia 'kan princess, harus selalu diarahkan supaya tidak salah jurusan."

     Mungkin jika tidak sedang di area terbuka seperti ini Adel akan mengamplas bibir lames bosnya. Untuk saat ini yang bisa Adel lakukan adalah menahan diri. Memberikan senyum penuh maklum dan membiarkan sosok Fahreel masuk ke mobil diiringi oleh sosok pria yang bernama Ikbal.

     "Sial! Dia niat mempekerjakan gue nggak, sih?" Adel ngomel-ngomel tanpa suara. Hanya wajahnya yang kentara jelas menahan emosi.

     Tak mau menjadi pusat perhatian dia pun masuk lebih dalam ke perusahaan milik mantan kekasih sialannya. Kedatangan kemarin terlalu terburu-buru sampai tidak memiliki waktu untuk menjelajahkan matanya.

     Benar dugaan Adel. Kantor milik mantan kekasihnya tak kalah megah dengan kantor milik orang tua perempuan itu. Ya meskipun lebih besar miliknya, tetapi fasilitasnya tak kalah memadai. Sepertinya Adel bakalan nyaman bekerja di sini, tapi apakah dia akan nyaman bekerja di bawah kendali mantan kekasihnya?

     "Hai, gue join di meja lo, ya," sapa seseorang membawa nampan berisi mangkuk jago dan gelas cantel besar.

     Adel yang bingung mau masuk dan duduk di mana alhasil memilih nongkrong di kantin sampai jam makan siang. Dia 'kan nggak tahu apa yang harus dikerjakan saat ini, apalagi Fahreel belum juga kembali ke kantor. Makin bingunglah Adel, sehingga kantin menjadi pilihannya saat ini.

     "Silakan, bukan bangku gue sendiri, kok. Milik ibu kantin," balas Adel ikut ramah karena orang yang menyapa juga ramah. "Gue Adel," lanjut perempuan itu mengulurkan tangan kanannya.

     "Salam kenal, Adel. Gue Myra. Dari divisi pemasaran. Kalau lo?"

     "Sektretaris bos, sih," jawab Adel setengah tidak rela seakan pekerjaan ini sangatlah hina.

     "Oh wow! Bos Fahreel?"

    Adel mengangguk malas tanpa menjawabnya.

     "Beruntung banget lo. Eh, tapi kalau lo jadi sekertaris kenapa di sini? Bukannya sekertaris makannya di pantry. Maksudnya ada tempat khusus bareng petinggi juga."

     Nah, 'kan. Hanya senyum kecut yang bisa Adel tampilkan. Kalau sudah seperti ini apa yang harus dia utarakan?

     Lama berbincang dengan teman baru yang bernama Myra perempuan itu pun memutuskan pergi lebih dulu. Sampai akhirnya kini berdiri di depan pintu ruangan yang kemarin didatangi untuk interview. Katakanlah ruangan keramat dan enggan Adel masuki. Namun, mau bagaimana lagi?

     Pria tinggi yang bernama Ikbal menghampirinya yang sedang menikmati makan siang di kantin. Adel tak tahu harus menjelaskan seperti apa mengenai respon teman baru dan penghuni kantin yang terus memperhatikan dirinya selama digiring oleh Ikbal.

     "Silakan masuk, Nona."

     Sedikit terusik dengan panggilan itu, tapi enggan meributkan. Sebab Adel sudah mengetuk pintu tanpa sadar.

     "Masuk!"

     Deg!

     Jantungan rasanya, tapi bukan karena jatuh cinta. Jujur di dalam lubuk hati paling dalam Adel merasa gugup bertemu dengan Fahreel sebagai bosnya. Dia juga takut sekiranya Fahreel akan memarahinya.

     Berbanding terbalik dengan niat awal yang mau mengamplas bibir pria itu.

     Pintu dibuka oleh Ikbal, pria itu begitu manis dengan mempersilakan dirinya masuk lebih dulu setelahnya Ikbal membuntuti pun setelah memastikan pintu tertutup rapat.

     Kursi yang diduduki oleh Fahreel berputar. Keduanya saling menjatuhkan pandangan, sebelum Adel yang sadar terlebih dahulu; segera berdeham kecil.

     "Bapak memanggil saya?"

     "Pertanyaan bodoh," maki Adel di dalam hati.

     Sial bagi Adel karena Fahreel menatapnya tanpa berpaling. Seperti mengintimidasi membuatnya terus berpaling supaya tidak bersitatap dengannya.

     Ini yang membuat kegugupan Adel berkali-kali lipat. Perempuan itu takut tidak bisa mengendalikan diri dan balas menatapnya tak kalah intens.

     "Jam berapa kamu pulang, Adelin?"

     "Hah?" Adel gagap.

      "Ck! Seharusnya kamu lebih prepare. Pertama kali kerja justru kesan buruk yang kamu tampilkan kepada saya. Mau SP?"

     "Pak ...." Adel merengek tanpa sadar dengan kedua tangan menangkup di depan dada. Matanya pun penuh dengan permohonan yang sontak membuat Fahreel membuang muka.

     "Shit!" umpat Fahreel kecil, hanya dia yang mendengarnya.

     "Ikbal," panggil pria itu membuka laptop dengan mengabaikan Adel begitu saja.

     "Iya, Pak?" Tanggap Ikbal setelah tersadar dari aksi menyimak perbincangan kecil bos dan perempuan yang Ikbal ketahui sebagai sekretaris kedua.

     "Ajarkan Adelin mengenai pekerjaannya. Dampingi dia sampai bisa jangan sampai meninggalkannya dengan pekerjaan karena saya tidak mau rugi."

TO BE CONTINUED

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Sep 13, 2023 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Bos Mantan AroganWhere stories live. Discover now