"Oh? Kamu nantang aku ceritanya?"

"Apa boleh buat."

Bara turun dari atas motor. Meletakkan barang bawaan di atas jok, kemudian berdiri tegap. Badan jangkung kurus namun berotot itu terlihat menjanjikan. Namun, pantang bagi warga Kota Anggur menilai dari tampilan. Meski hati kecil memberi tanda bahaya, harga dirilah paling utama.

"Aku katakan sekarang sebelum terlambat ..." Bara menjeda, "jangan buat aku marah. Aku paling anti sama orang sok jagoan." Imbuhnya, seraya memberi ultimatum.

Merasa direndahkan, si gondrong kehabisan kesabaran. Ia lebih dahulu menghantam wajah Bara. Kena. Akan tetapi, justru tangan si gondrong yang merasa sakit, dan ... terluka. "Kamu ...?!"

Wajah Bara yang lempeng, hanya memberi tanggapan santai. Lalu, ia bertanya, "Apa aku terlihat bercanda di matamu?"

Tanpa kata, si gondrong membisu. Hanya gestur badannya yang perlahan menyingkir dari jalan. Menepi. Menghampiri teman-temannya sambil memandang Bara dengan ekspresi tak terbaca.

Kejutan di siang hari untuk warga belakang Kampus UB cukup mendebarkan. Pasalnya, salah satu pentolan Kampus UB dibuat mundur teratur setelah merasakan sendiri bagaimana perbedaan level kekuatan mereka beda satu semesta. Bukan lebay. Rasa nyeri akibat pukulan yang ia lesatkan sendiri berimbas pada getaran badan. Tegang. Ketakutan.

Di sisi lain, tatapan Bara terasa menusuk sampai ke dalam jiwa. Seolah mencabik-cabik hingga ke dasar sanubari. Tatapan seorang predator yang sama seperti ....

***

Tibalah Bara di depan mulut gang. Di papan gapura tertulis Gatama alias Gang Tanpa Nama. Ini adalah gang terakhir yang ia kunjungi dari enam gang pertama.

Sebelum masuk, Bara memarkirkan motor di depan warung kopi. Ia melenggang santai ke dalam warung yang di isi oleh tongkrongan para mahasiswa. Tanpa banyak drama, Bara menghampiri ibu pemilik warung untuk titip motor. Bara mau masuk ke dalam gang.

Si ibu warung bertanya, "Untuk apa Masnya masuk ke sana?"

"Saya mau nyari kostan, Bu."

"Memang di dalam ada kostan, tapi-"

"Nah. Sesuai dugaan. Kalau begitu, saya duluan, Bu."

"Bentar, Mas! Ja-"

Belum selesai si ibu menuntaskan kalimatnya, Bara sudah melengos pergi meninggalkan area warung. Menyisakan kebengongan para mahasiswa akan tindak tanduk Bara. Mereka hanya berdoa semoga Bara kembali ke sini dalam keadaan sehat tanpa cacat.

Sambil menyelempankan tas ransel dan sling bag pada masing-masing tangan, Bara menyusuri jalanan gang, yang dari lebarnya hanya muat dilalui dua motor.

Semakin dalam, semakin Bara merasa ketidaknyamanan. Sorot mata orang-orang yang Bara temui sama sekali tidak ramah. Di sisi lain, sepanjang kaki Bara melangkah, ia dapat mencium beberapa aroma yang tak asing lagi di hidungnya. Perpaduan antara aroma alkohol, kelamin, bubuk mesiu, asap rokok, ah ... asap ganja, mungkin. Untun sisanya, Bara tidak tahu.

Hingga tibalah Bara di bangunan paling pojok. Bangunan berbentuk kubus warna hitam. Ada tiang setinggi empat meter berhiaskan bendera logo tengkorak, berikut rantai hitam yang mengelilingi tengkorak. Dari celah-celah pagar berkarat, Bara dapat melihat dan mendengar hal yang mencengangkan. Siang-siang bolong begini, ada sepasang sejoli yang tengah bersenggama di kursi goyang teras bangunan tersebut. Begitu bergairah penuh gelora. Sungguh darah muda. Bara sampai tercengang. Bingung harus berkata apa. Sejurus, Bara memilih balik badan. Duduk bersila di depan pagar menghadap jalan. Ia membakar merokok. Menunggu persenggamaan itu selesai. Rencananya, setelah dua sejoli itu menuntaskan birahi mereka, Bara akan bertanya kepada mereka, apa benar di sini masih ada kamar kosong untuk di kontrakkan.

Hak Asasi Money 21+ [On Going]Where stories live. Discover now