Lemas, letih, lesu. Bara sama sekali tak ada perlawanan di hadapan hakim. Ia mengangguk kecil, dibarengi hela nafas pendek. "Saya mengerti, Pak Hakim."

"Saudara penasihat hukum siap dibantu ya apabila terdakwa akan mengajukan banding."

"Baik, Pak Hakim." Sang pengacara menjawab singkat. Melirik sebentar ke arah Bara, kemudian menatap lurus ke depan.

"Baiklah. Dengan demikian pemeriksaan perkara pidana oeradilan semu FH Unetra
dengan Nomor Reg : 666Pid.B/2023 atas nama Bara Geni dinyatakan selesai."

Ketuk palu tiga kali tanda berakhirnya sidang hari ini menjadi seruan perang. Hal selanjutnya yang menggemparkan adalah bunyi letusan senjata api di udara. Memekakkan telinga. Semua orang yang hadir di dalam ruangan tegang. Panik. Ribut. Hanya Bara yang justru tersenyum lebar. Air mukanya yang sumringah tanda ia lega. Drama sesungguhnya telah tersaji. Sembilan orang berwajah sangar masuk ke dalam ruangan. Tak ada yang mengundang mereka kecuali atas nama persaudaraan. Ciri khas kaos hitam bergambar tengkorak dibelit rantai, rambut gondrong, menenteng rokok di tangan kiri dan tangan kanan membawa pistol, menjadi momok ketakutan semua orang yang menjadi saksi hidup ganasnya kelompok berlabel biang kerok pecinta dangdut. Mereka, Rantai Hitam.

"Yo, lelaki bajingan." Seorang pemuda berwajah kalem tapi menghanyutkan menyapa Bara. Sambil memainkan kedua alis mata naik turun, ia memberi senyum cerah ke arah Bara. Entah mengejek atau senang bertemu juniornya yang super menyebalkan itu.

"Mas Loki." Bara mengangguk. Ia berdiri. Tapi, baru saja hendak melangkah menghampiri seniornya di kampus dan kostan, dua petugas polisi lebih dulu menahan lengan Bara. Sikap kasar para petugas yang menyuruh Bara untuk duduk kembali menjadi sorotan Rantai Hitam.

Detik itu juga, seseorang dari mereka melesatkan masing-masing satu peluru tepat di kening sang petugas. Gugurnya mereka menjadi pemantik api yang sebentar lagi membakar rasa haus darah. Kubu putih melawan kubu hitam.

Bara yang baru kali ini melihat bagaimana inti Rantai Hitam menghabisi musuhnya, sedikit terguncang. Tapi ia mencoba berani. Mengingat mereka adalah teman-teman baiknya. Baik dalam tanda kutip, pastinya.

Sekarang, tanpa semua orang sadari, Rantai Hitam sudah membentuk setengah lingkaran, yang mana Bara berada di tengah. Dilindungi Seperti biasa, wajah sangar nan beringas mereka dibumbui bau-bauan rokok dan alkohol. Dua hal yang sedari dulu tak terpisahkan.

"Aku nggak mau banyak ngomong, Pak Hakim. Sampaikan ke atasanmu. Anak ini ..." Loki memiting leher Bara, "dia anggotaku. Aku mau bawa pulang anak ini. Kasihan, pacarnya nyariin. Boleh, kan?"

"Anda jangan kurang ajar! Ini-"

"Boleh, kan?" penekanan suara dari Loki, sudah jelas harus dituruti. Membantah sama dengan mempercepat masuk surga. Loki berdeham, ia menyasar satu persatu hakim di balik meja hijau. Tatapan terakhir jatuh kepada sang Hakim Ketua. "Apa perlu aku memperkenalkan diri sambil mengiris puting susu istri mudamu? Siapa ya namanya?"

"Lisa, Mas." Seorang teman sesama Rantai Hitam berbisik di telinga Loki.

"Oh, ya. Lisa. Menurutku, istrimu lebih cocok jadi cucumu, Pak Hakim. Sumpah. Lebih cocok lagi kalau sama aku. Hahaha." Loki tertawa renyah. Ia menatap teman-temannya. "Ha?"

Mau tak mau teman-temannya terpaksa tertawa karena mata Loki terasa mengancam bila tak disambut.

"Sebenarnya, kedatanganku dan teman-teman ke sini karena dua hal." Loki lanjut berbicara. Atensi tegang jelas terfokus padanya.

"Makasih, lho, Mas Loki. Sampeyan kalau sayang sama aku ngomong aja. Aku rela menduakan bocilku Aura demi dirimu." Sahutan ngawur dari Bara sukses mengundang jitakan. Hanya Loki yang melancarkan colokan dua jari di hidung Bara yang seperti gua.

Kemudian, Loki manggut-manggut. Wajahnya begitu bergairah bak jawara di medan pertempuran. Menatap penuh api permusuhan kepada sang Hakim Ketua. "Termasuk anak ini, aku ingin mendeklarisakan sesuatu. Kami, Rantai Hitam, mulai saat ini resmi menggantikan peran polisi dalam melindungi masyarakat Pulau Naga. Percaya atau tidak, masyarakat kita menilai jika keberadaan polisi sama sekali nggak ada gunanya. Bahkan masyarakat berharap mending bubarin aja polisi terus ganti jadi komunitas pecinta cupang."

Kembali tertawa, kali ini ucapan Loki sungguh terdengar tajam dan menggelikan. Bahkan satu dari lima hakim di hadapan Rantai Hitam sampai menunduk menahan tawa akan lontaran fakta yang diucapkan oleh pemuda itu.

"Apalagi ini maksudnya?" geram penuh desisan sang Hakim Ketua. Tapi ia sadar jikalau posisinya saat ini serba salah. Menegakkan keadilan, atau keselamatan keluarganya. Dua hal yang sukar ia putuskan seorang diri.

Melihat raut ragu sang Hakim Ketua, salah satu anggota Rantai Hitam segera sadar. Si pemuda mata sipit tanggap dan ikut bersuara, "Kayaknya Pak Hakim lagi dilema tuh, Mas. Gimana kalau kita kasih hiburan sedikit?" sambil tersenyum misterius.

"Wah! Ide bagus, cok. Hiburan apa ya kira-kira yang cocok untuk bapak-bapak bau tanah di depan kita ini?" Loki menyahut. Ikut mendramatisir.

Sambil menunjuk Bara, si pemuda mata sipit berkata, "Coba kita kasih kesempatan bajingan lendir ini dulu, Mas."

"Gendeng! Kenapa mesti dilempar ke aku, sih?" Bara tolah-toleh, bego. Wajah super duper menyebalkan diperlihatkan.

"Jangan banyak bicara ko. Ayo, ngomong. Daripada sa kutuk jadi sendok nyam-nyam. Mau ko, cukimai?!" sambar pemuda lain berambut gimbal sambil melotot.

Bara cemberut. Rasa-rasanya ia ingin jadi Superman saja saat ini. "Iya, iya. Gitu aja emosi kamu, Bang." Masih manyun, Bara berpikir sejenak, sebelum melanjutkan, "Ehem. Ehem. Berhubung sekarang lagi marak kasus HAM yang nggak sesuai tempatnya, dan aku juga jadi korban fitnah maka dari itu aku mau para hakim di sini diadili sesuai hukum yang berlaku di Rantai Hitam."

"Dan itu?"

"Hak Asasi Money." Seketika wajah Bara berubah sadis. Aura aneh yang terpancar dari tubuh kurusnya akibat kurang gizi di dalam jeruji, membuat semua orang bergidik. Hanya Loki dan si pemuda mata sipit yang paling santai. "Pakai uang untuk menebus nyawa. Satu nyawa seharga satu miliar. Sesuai SOP, ya, kan?"

"Jangan ngelunjak! Kurang itu." Si pemuda rambut gimbal tersenyum lebar. Kulit hitam, berikut badan gempal penuh otot membuat intimidasi kian kuat. "Minimal sepuluh miliar, lah. Mereka dibayar buat bebasin tahanan di Purgathory aja menerima tanpa banyak bacot, masa sekelas kita cuma minta satu miliar? Receh, setan!"

Bara menggaruk pipi. "Kurang nominalnya, kah, Bang?"

"Bukan. Tapi kurang menantang." Loki yang menyahut. Ia maju dua langkah ke depan. Menodongkan pistol di depan sang Hakim Ketua. Sedetik, menembakkan peluru tepat di dada kiri sang target. Erang serta teriakan melengking kesakitan sang Hakim Ketua kontan memenuhi seluruh ruangan. "Dalam satu kali dua empat jam, aku ingin semua tersangka tindak pidana korupsi di hukum mati di Purgathory. Di depan publik. Jangan lupa disiarkan di televisi. Jika menolak ..." Loki menoleh ke belakang, memandang jenaka Bara yang sedang sibuk sendiri menarik borgol di tangan. Tersenyum tipis penuh misteri, Loki berkata lantang, "Semua wanita di circle kalian akan menjadi santapan predator yang baru saja kalian jatuhi vonis! Ingat itu!"





























BAJINGAN!

Hak Asasi Money 21+ [On Going]Where stories live. Discover now