25. Ayo nak

2 1 0
                                    

Agha kembali ke rumah tepat waktu. Ia membuka sepatu dan menaruhnya dalam rak. Selangkah maju, pria itu melihat ayahnya yang tertawa terbahak-bahak menonton televisi.

"Hati-hati, jangan sampai mengompol."

Ayah Agha menengok lalu berbinar menatap putranya. "Anak ayah, tumben pulang tepat waktu?"

Beliau menerima salaman dari putranya, "Lagi ada masalah dengan teman-teman?"

"Entahlah, Agha tiba-tiba pengen pulang lebih awal," ujar Agha. Sebisa mungkin ia menutupi rasa cemas yang datang dari sebelum dia sampai rumah.

Ayah Agha tersenyum, seakan tahu kecemasan yang tersirat itu. "Tadi, nenek kamu datang ke sini,"

"Tuh kan! Pantas aja Agha cemas," ujar Agha mengutarakan perasaan mengganjalnya.

Agha masih memerhatikan kondisi wajah dan badan ayahnya, "Ayah, baik-baik saja kah sekarang?"

"Kamu tenang saja, Agha. Ayah tetap membatalkan pernikahan itu,"

Agha berpikir netral, "Sebaiknya kita menuruti apa kata nenek. Mungkin bisa menjadi kebahagiaan baru untuk ayah,"

"Tidak, nak. Kebahagiaan itu tidak menormalisasi bentuk paksaan. Ayah sudah nyaman sendiri,"

"Ayah lebih senang tinggal berdua sama putra ayah," ujar ayahnya. Agha bisa melihat tatapan beliau mengisyaratkan letih, sudah tertekan.

"Berapa kali Ayah harus menerima hajaran dari saudara? Membantah sama saja melukai diri Ayah sendiri," ujar Agha harus setiap hari menyadarkan ayahnya tentang perilaku kasar keluarganya.

"Semua ada masanya, Gha. Begitupun tenaga yang mereka keluarkan untuk berbuat kasar. Pasti akan ada batasannya," kekeh Ayah Agha, santai menyikapi perlakuan dari keluarganya.

Agha merangkul pundak sang ayah dan perilaku putranya itu membuat beliau menengok.

"Kalau ini menyangkut kebahagiaan Ayah, jangan larang Agha untuk mendukung dan membantu Ayah." Agha membuat kesepakatan bersama ayahnya.

Beliau hanya mengangguk mantap, seperti menanyakan seberapa bisakah Agha ikut serta dalam masalah ini. "Boleh tuh."

***

"Siapa ini?" Berlin menduduki kasur sembari menerima telepon.

"Lo nggak nyimpan nomornya? Cukup tau sih gue,"

"Jangan gitu, lo Erif kan?" Lirikan Berlin tertuju pada tumpukan kertas laporan hasil kerja kelompoknya. "Tentang tugas udah kelar semua,"

"Oh beneran nggak kenal,"

"Sebentar-sebentar." Berlin mencoba untuk mengingat suara familiar ini. Barulah matanya membulat setelah menemukan siapa orangnya,

Berlin mengeratkan genggam ponsel, "AGHA KAH?"

"Eits santai bro, bokap gue sampai nengok denger suara lo," ujar Agha terdengar nada latahnya.

"Lo pakai lost speaker!" Berlin memutar bola matanya malas, "Ada kepentingan apa? Sampai nelepon,"

"Nggak ada sih," jujur Agha yang tanpa tujuan.

"Oke deh," jawab Berlin menjauhkan ponsel dari telinganya, "Kalau nggak penting gue tutu—"

"Siapa suruh tutup telepon?"

"Lo bilang nggak ada pentingnya!" omel Berlin, semakin malas mendengar basa-basi.

"Bukan berarti lo langsung berasumsi, Lina,"

Berlin menghembus napas, "Terus kenapa, Gha?"

"Ah iya. Gue butuh pendapat lo,"

Abang Mantan!Where stories live. Discover now