Kembali ke setelan pabrik, aku hanya menganggukkan kepala dan membiarkan Andrew yang memimpin duluan. Kami berjalan di trotoar Soho pada malam hari. Beberapa orang berkumpul di depan gedung-gedung teater. Jumat malam. Sudah pasti sangat ramai. Andrew tidak berkata apa-apa sepanjang perjalanan, aku tahu isi kepalanya sudah dipenuhi oleh topik yang akan dibahasnya karena aku pun berpikir demikian.

Setelah berjalan sekitar lima menit—aku sudah terbiasa jalan kaki di sini—Andrew membawaku ke sebuah kafe dengan bangunan khas Prancis, dengan atap-atap melengkung di atas jendela berwarna hitam. Beberapa meja dan kursi tersebar hingga ke jalanan. Beberapa pengunjung ada yang baru meninggalkan meja mereka sehingga ada tempat kosong untuk kami.

Aku memesan Cheeseburger frites karena hanya itu yang kupaham dari menunya yang ditulis dalam bahasa Inggris. Perutku enggan untuk mengunyah yang aneh-aneh. Andrew memesan menu yang sama. Ketika aku memesan iced latte, Andrew memilih soda. Kupikir dia akan menyamakan menunya juga.

Pramusaji pergi meninggalkan Andrew dan aku yang masih saling diam, yang terdengar hanya orang-orang di sekeliling kami saling mengobrol dalam berbagai bahasa. Aku menangkap beberapa percakapan yang menggunakan bahasa Inggris; ada yang baru pulang kerja, ada yang berkumpul dengan rekan kerja, ada yang masih kerja dan membicarakan bisnis.

"Jadi bagaimana kau bisa tampak sangat dekat dengan June?" Andrew akhirnya memecah keheningan, memulai pembicaraan yang telah kujanjikan. Dia tadi melihatku berpelukan dengan June pasti bertanya-tanya.

"Keira meneleponku untuk mengajak makan siang bersama dan aku meminta June untuk ikut," jawabku jujur dengan ekspektasi Andrew akan marah karena aku menemui mantan kekasihnya itu. Dia bilang kalau ingin tahu tentangnya harus bertanya langsung padanya sementara aku malah berbuat nekat menemui June.

"Keira?" Kening Andrew berkerut, sebentar lagi dia akan marah. "Oke." Kerutan itu menghilang.

Kini berbalik keningku yang mengerut mendapatkan respons santai dari Andrew. "Kau tidak marah?"

"Kenapa aku harus marah?" Andrew tahu betul jawabannya. "Kau bertemu dengan June untuk menanyakan hubungan kami berdua, benar? Itu artinya kau masih peduli denganku dan melihat adanya kemungkinan dapat memperbaiki hubungan kita. Kau hanya ingin memastikan langkah yang kau ambil benar. Lagi pula aku juga melakukan hal yang sama."

"Apa maksudmu?" Tidak mungkin Andrew bertemu dengan pria bajingan itu. Pertama, aku tidak pernah memberitahunya siapa mantan kekasihku. Kedua, tidak ada jejak digital tentangnya dari akun media sosial milikku, dan ketiga, mereka berjarak ribuan miles. Tidak mungkin.

Kecuali....

"Kau bertemu dengan Zevo?" Ini bahkan lebih buruk daripada Andrew bertemu pria bajingan di Indonesia itu. Apa yang Zevo bicarakan? Dia pasti tidak segan membongkar aibku. Aku tahu itu.

"Ya, tidak mungkin aku terbang ke Indonesia dan bertemu dengan Andre."

Nafsu makanku sepenuhnya hilang seketika begitu mendengar nama pria bajingan keluar dari mulut pria ... entahlah. Bagaimana Andrew bisa tahu namanya? Tentu saja Zevo. Bisa-bisanya dia membongkar perihal hubunganku yang kandas kepada Andrew? Itu artinya Andrew juga tahu bahwa aku gagal nikah.

Memalukan sekali.

"I think I'm done with the conversation."

Journal: The LessonsDove le storie prendono vita. Scoprilo ora