1. Di Depan Gereja Calvary Chapel.

1.7K 179 26
                                    


Aku turun dari kamarku yang terletak di lantai dua, pada Minggu pagi, saat kudengar samar-samar suara Umi sedang bersua dengan Bang Syawal yang berada di Kairo untuk mengejar pendidikan S2-nya melalui sambungan video.

Aku menghampiri Umi. Belum terlaksana aku menempati ruang kosong di sampingnya, mata Umi memelotot. Tatapannya membidikku dari ujung rambut sampai ujung kaki. Ternyata celana pendek inilah penyebabnya.

"Adek mau ke mana?"

Aku mendudukkan diri ketika bola mata Umi mengikuti tubuhku. Aku menyandarkan kepala di bahunya, ikut menyapa Bang Syawal.

"Banggggggg!" Seruku antusias. Aku benar-benar merindukan dia. Andaikan Kairo dan Jakarta seperti jarak kamarku dengan kamar Umi, pasti setiap hari aku akan mengunjunginya. Sampai dia bosan dan enggan mengakuiku sebagai adiknya lagi, saking merepotkannya.

"Bang, Naufal pakai celana pendek. Tuh lihat." Umi tiba-tiba mengadu dan mengarahkan kamera ponsel ke kakiku. Ah, Umi memang tukang mengadu. Untung saja Bang Syawal selalu berpihak padaku. Aduan Umi tentang kelakuanku pada Bang Syawal terkadang tidak berarti apa pun.

"Lebih baik daripada nggak pakai celana, kan, Umi?" Gurau Bang Syawal sambil tertawa. Duh, Bang, sepertinya bahagia sekali dirimu jauh dari kami.

"Celananya pendek sekali, Bang. Di atas lutut."

"Nggak, Bang. Gantung dikit doang, kok. Tuh." Aku pun ikut-ikutan memperlihatkan potongan celana pendek yang aku kenakan. Aku bahkan menarik-nariknya paksa agar sedikit terlihat pas dengan lutut, karena ucapan Umi tidak meleset.

"Mau ke mana kamu?" Tanya Bang Syawal.

"Biasalah, Bang. Anak muda," jawabku santai. Mata umi semakin membulat. Aku segera menggapai tangan Umi dan mengecup punggung tangannya.

"Minta ampun, Umi. Naufal pergi dulu, ya. Ada janji sama temen. Bang, Naufal main dulu. Jaga kesehatan ya, Bang." Aku melambaikan tangan sebelum beringsut dari sisi Umi.

"Pulang sebelum maghrib, Naufal."

"Iya, Umi-ku sayangku cintaku. Assalamualaikum." Aku merambet kunci motor yang menggantung di atas kabinet dan segera menuju garasi untuk mengeluarkan sepeda motor.

Aku lahir di keluarga yang sebetulnya cukup agamis. Memakai celana pendek apalagi saat hendak bepergian di hadapan Umi, menurutnya, merupakan sebuah bentuk perlawanan. Umi tidak ingin melihat anak-anaknya berpakaian terbuka dan kurang pantas atau kurang enak dilihat. Tetapi saat aku melanggar aturan tidak tertulis itu, Umi masih mau dan mampu memberiku ampunan bahkan pengertian kecil. Bukan salah umi. Ini salahku.

Lain cerita jika pagi ini yang menemukanku memakai celana pendek adalah Abi. Aku bisa dipecut sampai memerah tubuhku. Didikan Abi di rumah ini cukup keras. Ralat. Bukan sekadar cukup, tetapi sangat keras. Lagi-lagi, ini bukan salah Abi, tapi salahku.

Abi dan Umi hanya memiliki dua putra. Putra pertamanya begitu patuh, tidak pernah bersuara meski apa yang terjadi dalam hidupnya bukanlah atas keinginannya. Aku masih ingat saat Abi meminta Bang Syawal meneruskan pendidikan di Kairo namun diam-diam Bang Syawal datang padaku, mengeluh, jika sebetulnya dia sudah memiliki rencana sendiri dan tidak bisa menolak untuk pergi ke sana.

Bang Syawal tidak pernah mengutarakannya pada Umi dan Abi. Entahlah, aku tidak tahu sekarang apakah dia masih merasa enggan dan terpaksa sekolah di Kairo atau tidak. Sudah beberapa waktu ini, Bang Syawal tidak pernah bercerita apa pun lagi. Ketika ia menelepon, tidak banyak yang ia bicarakan. Hanya seputar kehidupannya di sana sebagai mahasiswa, yang tinggal di sebuah rumah sewa dengan dua mahasiswa lain yang sama-sama berasal dari Indonesia, yaitu, Mas Bilal dan Mas Dwi. Bang Syawal pernah mengenalkannya padaku. Katanya, kalau dia tidak bisa dihubungi, aku bisa menghubungi Mas Bilal atau Mas Dwi saja.

Di Tanah Gersang ✔️Where stories live. Discover now