22 | West End Pt. II

Start from the beginning
                                    

Menurut informasi di tiket, durasi pertunjukan teaternya adalah 2 jam 30 menit. Selama itu aku terjebak dalam ruangan ini, memandang Zevania dari kejauhan seraya berpikir cara untuk berbicara dengannya. Setelah teater ini selesai, aku bertekad kalau tidak malam ini, mungkin aku akan kehilangan Zevania sekali lagi. Sudah tidak ada waktu. Besok aku harus ke Manchester karena Kate sudah mengomel menyuruhku datang.

Dan, aku sangat berharap Zevania dapat ikut. Selain untuk menepati janjiku membawanya ke kandang Manchester United, aku juga ingin dia bertemu dengan keluarga besarku. Semuanya berkumpul di hari pernikahan Kate.

June berperan sebagai Bonnie, sementara Felix sebagai Clyde. Mereka berdua bersinar di atas panggung teater musikal, berakting sambil bernyanyi, memerankan dua pasangan kriminal legendaris dari Amerika. June pernah bilang bahwa dia merasa paling hidup ketika berada di atas panggung, ketika orang-orang memusatkan perhatiannya padanya. Tidak ada yang berbeda antara June di atas panggung dan June di belakang layar, dua-duanya memukau.

Orang-orang memang bilang mereka melihat bintang dalam diri June, bintang yang bersinar. Namun, aku tidak bisa melihat sinar yang terpancar dalam diri June atau sinar itu redup ketika dia bersamaku. Sekarang aku bisa melihatnya lagi bersinar bersama orang yang tepat untuknya, yang tidak menyerap sinarnya.

Sinar itu barangkali hal yang sama seperti yang kulihat dalam mata Zevania setiap berkaitan dengan London. Sinarnya juga redup ketika kami bertengkar kemarin malam. Penampakan Big Ben dan London Eye yang kelap-kelip bercahaya pada malam hari tidak lagi menggambarkan suasana London yang magis bagi gadis itu. Semalaman aku berpikir cara memperbaiki hubunganku dengannya, aku juga berharap dia tidak membenci kota ini. Aku melirilk kepalanya yang sedikit terlihat dari sandaran kursi, fokus pada panggung teater. Not an art person, katanya. Dan, dia menerima undangan Keira untuk menonton pertunjukan teater. Keira tahu betul itu artinya dia akan bertemu dengan June.

Aku tidak bisa diam saja. Aku hanya punya waktu malam ini atau semuanya akan terlambat. Setelah teater selesai, aku akan langsung bicara dengan Zevania. Meminta maaf padanya dan menyelesaikan segala masalah di antara kami berdua. Harus. Apa pun risikonya, aku harus siap menerimanya. Termasuk risiko bahwa malam ini mungkin kali terakhir aku bertemu dengannya.

Setelah dua jam lebih aku memikirkan segala kemungkinan dari Zevania memaafkanku hingga dia tidak mau melihat wajahku lagi, aku segera beranjak dari kursi teater ketika gadis itu bergabung dengan pengunjung lain yang mengantre di depan pintu keluar. Mata kami bertemu sekilas, tetapi dia langsung membuang muka. Aku berusaha mengejarnya, mengabaikan desisan orang-orang ketika aku melewati bahu mereka dengan brutal.

"Zevania!" Beberapa orang menoleh padaku, tapi tidak cukup peduli untuk menonton pertunjukan dramatis dariku yang mengejar seorang gadis. Aku meraih lengannya, menahannya agar tidak semakin jauh. "We need to talk."

Zevania akhirnya berhenti melangkah di depan gedung sebelah teater. "We will talk after you are done with June." Matanya memandangi tanganku yang mencengkeram lengannya, aku segera melepaskannya.

"I'm done with her. There is nothing going on between me and her anymore." Apakah June tidak memberitahu Zevania bahwa aktor pemeran Clyde di teaternya itu merupakan kekasihnya? Dia jelas sudah tidak memiliki perasaan padaku lagi. Melihat wajahku saja sepertinya membuatnya muak.

"Are you sure about that?" Untuk pertama kalinya, terdapat keraguan yang terpancar dalam tatapan Zevania. Biasanya dia menatapku dengan penuh keyakinan, menaruh seluruh kepercayaannya padaku. Sekarang semua itu lenyap. "Go talk to her. You two have some unfinished business. I will be waiting for you here, then we'll talk."

Mendengar bahwa Zevania akan menungguku dan berbicara denganku merupakan pertanda hubungan kami akan baik-baik saja, bukan? Entah apa yang dibicarakan June, tetapi Zevania tidak begitu marah padaku. Dia tidak berapi-api seperti kemarin, tatapan penuh keraguan itu berganti lebih lembut, memberi harapan.

Journal: The LessonsWhere stories live. Discover now