1 | BERTEMU MANTAN

216 16 110
                                    

    “Adeline Mayla Chrysara.”
   
    Jantung Adel berdebar kencang, kepalanya yang menunduk dalam menunjukkan bagaimana gugupnya saat ini. Kedua tangan yang saling terjalin erat bahkan sampai berkeringat.
   
    “Lulusan terbaik? Hem, perlukah saya uji coba.” Entah sebuah kalimat pertanyaan atau pernyataan. Adel masih bungkam. Untuk pertama kalinya datang ke perusahaan yang baru saja dirintis. Dia yang terus saja diobrak-abrik sang ibu perihal kemalasan yang mendarah daging seketika dibuat mati kutu—sekedar mendengar sebutan nama panjangnya.
   
    “Seperti mengenal suaranya,” gumam gadis itu.
   
    “Kamu berbicara apa, Adelin? Saya tidak jelas mendengarnya.”
   
    Adel gelagapan.
   
    Karena tak ingin membuat calon bosnya gedek karena dia dengan lancang tak mau menunjukan wajahnya. Begitu kepalanya mendongak tenggorokannya tercekat. Kering, dia butuh air, tapi bukan untuk minum, melainkan menyiram wajah tengil laki-laki di depannya.
   
    “LO—”
   
    “Hust! Turunkan tudinganmu, Adelin. Saya ini bos kamu.”
   
    Jari telunjuk yang mengacung tepat di depan wajahnya perlahan bengkok lalu turun dan mengepal di sisi pinggang. “Sialan, kalau tahu kantor ini pimpinannya cowok modelan dia mana mungkin gue melamar,” batin Adel, menyesal sekali.
   
    “Jadi, apakah masih berminat kerja di sini? Saya tidak memaksa andaikan kamu memilih menarik berkas lamaran.”
   
    Untuk kedua kalinya Adel ingin mengumpat, paling tidak meludahi wajah tengilnya. Dulu saja wajah laki-laki itu sudah tengil, apalagi sekarang? Sudahlah, jangan mengingat yang dulu-dulu, saat ini fokuskan. Apakah Adel akan melanjutkan atau menarik berkas lamaran seperti yang dibilang oleh ... bos!
   
    “Apes banget ketemu dia lagi. Musuh bebuyutan, mantan sialan yang sialnya bakalan jadi pimpinan gue. Gue mau narik berkas, tapi nanti apa kata mama. Aduh, gimana, sih. Gue nggak mungkin pulang bawa kabar buruk, makin besar kepala nanti si Tondi. Ngeselin amat, sih. Kalau kayak gini ceritanya—”
   
    “Okay, sepertinya kamu memilih opsi kedua. Silakan ambil balik berkasnya,” ujar laki-laki itu menyodorkan map yang bahkan belum sempat dibukanya.
   
    Karena ucapannya itulah membuat lamunan Adeline buyar sudah. “Rel, lo—”
   
    “Saya calon bos kamu, Adeline,” tegur laki-laki yang dipanggil ‘Rel’.
   
    Terlihat Adeline menghela napas. Sejenak, mencoba mengukir senyum di depan laki-laki yang juga sedang tersenyum lebar. “Iya, Bapak Fahreel Miles. Saya berminat bergabung dengan perusahaan yang Bapak pimpin. Sesuai dengan ketentuan yang tertera di berkas lamaran.”
   
    “Sekertaris?” Alis laki-laki bernama Fahreel terangkat naik sebelah, seperti sedang mengejek dirinya. Berusaha kuat untuk menahan tangan supaya tidak menarik rambut gondrong laki-laki itu.
   
    “Dengan kesadaran penuh saya bersedia, sesuai bidang yang saya pilih, Pak.”
   
    Bisa Adel pastinya kalau Fahreel saat ini sedang menertawakan dirinya yang terlihat mati kutu.
   
    “Okay, saya terima karena memang ... ya, sepertinya kamu cocok sebagai sekertaris saya. Kalau boleh tahu kenapa kamu tidak bergabung dengan—”
   
    “Sudah diterima, ‘kan? Okay, saat ini sudah selesai bermain perannya. Di situ tertera gue mulai kerja besok begitu tanda terima diberikan. Itu artinya saat ini gue belum jadi karyawan lo!” Jeda sejenak untuk mengatur napas yang ngos-ngosan. “Gue nggak selemah yang lo pikirkan, Fahreel. Jangan main-main sama gue, kalau bisa profesional maka gue pun akan kasih timbal baliknya.”
   
    Senyum miring tersungging di bibirnya yang tebal. “Begitu, ya? Kalau saya tidak mau gimana?”
   
    Adeline berdecak.
   
    “Lo masih dendam karena ToD itu, ya? Itu cuma permainan aja, Fahreel. Bukan Cuma lo doang yang jadi korbannya, kok. Lo tuh terlalu gampang baper.”
   
    “Keluar!”
   
    Adeline bergeming.
   
    “Saya bilang keluar, Adeline! Perlu saya panggilkan satpam untuk mengusir kamu?!”
   
    “Dasar cowok aneh! Kutu buku, lo pikir dengan memperbaiki penampilan, nggak akan melupakan kutunya lo dulu gimana. Ngaca, Reel,” kata Adeline sebelum benar-benar pergi.
   
    Begitu sosok Adeline tidak lagi terlihat, sapuan kasar pada meja kerjanya dilakukan oleh Fahreel sebagai pelampiasan emosi. “Sialan, kamu tidak tahu apa yang bisa saya lakukan, Adeline. Kita tunggu sampai mana ketahanan kamu bekerja di bawah tekanan.”
   
    Jika Adeline melihatnya, dia harus waspada dengan ucapan Fahreel yang tidak main-main.
   
    ***
   
    “Cowok aneh, kalau bukan karena ancaman mama mana mungkin gue capek-capek nyari kerja. Tanpa kerja gue masih bisa duduk enak ongkang-ongkang. Ini semua gara-gara Tondi. Dia yang harus tanggung jawab!” omel Adeline sepanjang berada di lift, untung saja seorang diri jadinya nggak malu mencak-mencak begitu. “Gue mau ke mana setelah ini. Masa langsung pulang, sih.”
   
    Sebuah ide bagus melintas di otaknya. Adeline tidak salah, sepertinya dia bisa bersenang-senang sampai menunggu waktu malam tiba.
   
    “Kalau pulang ke rumah udah pasti bakalan cekcok sama Tondi. Dia ‘kan ngantor di rumah. Kalau ke apartemen gue malas mama bakalan nyusul. Kali ini mama nggak berani nyusul. Jaminannya papa bakalan ngambek sama mama kalau sampai nyusulin gue ke tempat itu.” Adeline bersiul begitu pintu lift berdenting.
   
    Adeline memesan taksi, dia tidak membawa mobil sendiri atau diantar supir. Mana ada orang mau kerja bawa supir dan mobil mewah. Seharian ini mau jadi orang biasa. Namun, tidak dengan malam ini. Adeline mau bersenang-senang sebelum nantinya dipusingkan dengan masalah pekerjaan.
   
    “Okay, nggak masalah, Reel. Gue udah punya rencana kalau lo berniat balas dendam.”
   
    ***
   
    “Kadar alkohol rendah. Gue lagi nggak mau tepar. Sekalian cemilan, ya.”
   
    “Siap, Bos. Ada lagi?”
   
    “Cukup, segitu dulu, Bro.”
   
    Adeline cukup akrab di tempat ini. Soalnya sudah jadi langganan juga.
   
    “Pesanannya, Nona. Cemilan yang biasanya. Gue tinggal dulu, kalau perlu sesuatu panggil saja.”
   
    “Hem, thanks, Bro!”
   
    Menikmati waktu sendiri di kala penat memang menyegarkan jiwa. Apalagi selama ini Adeline banyak menghabiskan waktunya di rumah. Lebih tepatnya di dua ruangan, kamar dan tempat rahasianya.
   
    “Anehnya sampai sekarang nggak tahu siapa pemilik asset ini. Orangnya juga nggak ada yang tahu. Kok bisa ada orang yang begitu, sih. Padahal club ini sudah punya nama.”
   
    Benar.
   
    Adeline memang berada di club, siang-siang begini. Seorang diri juga.
   
    “Satu, seperti biasa.”
   
    Suara di sebelahnya terdengar familiar. Asap yang harusnya berhembus ke udara seketika masuk kembali ke dalam hidung sampai-sampai membuat Adel batuk-batuk.
   
    Laki-laki di sebelahnya menoleh, seperti tidak terkejut. Berbeda sekali dengan dirinya yang nampak terkejut.
   
    “Lo ngikutin gue?!”
   
    “Sangat percaya diri sekali kamu ini.” Fahreel berdecak membuang muka setelahnya. Laki-laki itu duduk di stool yang tersedia, sengaja membuat jarak seakan Adel ini memiliki bau badan yang menyengat.
   
    Melihat respon Fahreel seketika membuat Adel ikut menggeser bangkunya, alhasil mereka sama-sama membuat jarak. Tidak sadar kah karena tingkah mereka seperti anak kecil saja.
   
    “Kenapa harus ketemu dia di sini lagi, sih. Dijamin sekali ketemu hari berikutnya ketemu, bakalan kena sial. Gue harus mandi kembang tujuh rupa kalau bisa membersihkan diri. Ya Tuhan jangan sampai kedatangan dia membawa nasib buruk buat gue.”
   
    “Kenapa kamu menatap saya seperti itu? Sadar kalau saya ini memang tampan,” seloroh Fahreel karena tatapan mata Adel bahkan sampai keningnya berkerut.

TO BE CONTINUED 

Bos Mantan AroganWhere stories live. Discover now