SKSB 2

905 159 4
                                    

"Onty Gendhis! Mana marshmellow yang Onty bilang kemarin?" Rezjy keponakannya yang berusia enam tahun itu menyambut kedatangannya.

"Hmm, Onty lupa Rezki, besok ya. Tadi itu Onty langsung ke ngelesin, maaf ya, please," ujarnya dengan wajah memelas. "Sebagai gantinya, Onty bawain roti bakar nih, mau, 'kan?"

"Onty capek ya?" tanyanya polos. Resky anak yang sangat peduli meski di usianya yang masih kecil. Seperti anak lainnya, dia pun selalu menginginkan apa saja. Namun, Rezky jika melihat Gendhis pulang malam dan terlihat lelah, dia buru-buru meralat kekecewaannya agar tidak membuat Gendhis merasa bersalah.

"Iya, Rezky, Onty capek," keluhnya kemudian menjatuhkan tubuh ke sofa di ruang tengah.

Besok dia harus ke kampus sebelum ke tempat kerja. Sementara saat di jalan tadi Desi seorang penggerak UMKM mengirim pesan agar idenya membuat kerajinan dari enceng gondok segera ditindaklanjuti.

"Onty."

"Ya?"

"Tadi di sekolah ...." Rezky menggantung kalimatnya. Tampak wajahnya murung seketika.

Gak itu membuat Gendhis menegakkan badannya. Tangannya terulur meraih bahu Rezky.

"Hei, Jagoan! Kenapa? Kok, mukanya ditekuk gitu?"

Dengan suara terbata-bata, bocah laki-laki itu menceritakan jika pekan depan ada kegiatan yang harus melibatkan ayah dan ibu. Kegiatan sekolah di akhir pekan. Di acara itu setiap anak akan  bersama ibu bapaknya membuat kreasi masakan favorit keluarga.

"Jadi Rezky Sabtu besok ngga bisa ikut, Onty," ungkapnya lirih.

"Sabtu ya?" Gendhis berpikir sejenak. Dia paling tidak bisa melihat kesedihan pada keponakannya.

"Iya, Onty, pagi jam delapan. Tapi nggak apa-apa kalau nggak datang, guru Rezky pada tahu, kalau Rezky ngga punya mama papa," tuturnya polos.

Ucapan Rezky, membuat Gendhis teringat pada sosok Andre, suami kakaknya. Pria itu tak sama saja seperti ayahnya yang menghilang pergi dengan perempuan lain. Bahkan Andre pergi saat Widuri masih mengandung anaknya. Dua perempuan yang dia cintai telah terluka begitu dalam oleh sebab makhluk berjenis kelamin laki-laki. Hal itu pula yang membuat Gendhis enggan menjalin hubungan dengan pria mana pun meski sang ibu tak pernah jemu bertanya soal itu.

"Onty, sebagai gantinya karena Rezky nggak ke sekolah, Onty ajakin Rezky jalan -jalan ya," pintanya membuyarkan segala memori tentang pria.

"Jalan ya? Oke, kita jalan renang terus jalan ke mal. Gimana?"

"Oke, Onty!"

Bocah itu lalu duduk melahap roti bakar yang sudah diletakkan piring oleh Santi sang nenek yang tak lain adalah ibu Gendhis.

"Gendhis."

"Iya, Bu?"

Perempuan berwajah teduh itu menarik napas dalam-dalam. Melihat wajah Gendhis sudah bisa dibaca betapa lelahnya putrinya itu. Gendhis seolah mengabaikan letih demi bisa memberi kebanggaan untuknya. Ada kegundahan sat hendak mengatakan keluhan soal perutnya yang sakit akhir-akhir ini. Perempuan sabar itu tak ingin menambah keresahan Gendhis.

"Ini, Ibu punya tabungan untuk melunasi kekurangan uang kuliahmu dan melunasi biaya wisuda," ujarnya pelan seraya menyerahkan amplop putih kepada putrinya.

"Apa ini, Bu? Nggak, Gendhis ... Gendhis udah ada uangny kok, Bu. Ibu tenang saja. Semuanya bisa Gendhis atasi.ibu doakan aja ya." Dia kembali meletakkan amplop putih itu di tangan Santi sembari menggeleng.

Sejak memutuskan untuk kuliah, dia memang pernah mengatakan jika tak akan merepotkan ibunya.

"Gendhis akan berusaha cari beasiswa dan pekerjaan paruh waktu untuk uang kuliah Gendhis, Bu. Ibu nggak perlu khawatir," ungkapnya kala itu.

Setidaknya Kita (Sempat) Bersama (Sudah Terbit Ebook)Where stories live. Discover now