PROLOG

2.8K 139 27
                                    

Raga membanting pintu rumahnya dengan kencang, meninggalkan suara berisik yang memekakkan telinga dari dalam rumah. Matanya merah dan berkaca-kaca. Kalau saja Rey tidak berlari menghampirinya saat itu, mungkin air matanya sudah tumpah.

"BANGG BANG BANG!"

Rey yang hari itu masih memakai seragam putih biru, berlari dari luar rumah sambil memegang sebuah amplop. Tas ranselnya bergoyang kesana-kemari. Sementara tubuhnya yang kurus tampak seperti sapu lidi terbang dengan gaya berlari nya yang secepat kilat itu.

Raga buru-buru mengelap matanya. Lalu tersenyum lebar.

"Lo mau kemana Bang?" Tanya Rey heran. Tidak biasanya Raga keluar rumah sore-sore begini.

"Mau ke warung," jawab Raga bohong. "Eh, kenapa lo tadi?"

"Pengumuman beasiswa gue udah keluar," Rey nyengir. Lalu mengeluarkan secarik kertas dari dalam amplop cokelat yang sedari tadi dipegangnya.

"Beasiswa?" Raga menatap Rey heran. Ia kemudian mengambil kertas yang disodorkan Rey dengan alis mengkerut.

Yang terhormat, Reykjavik Junior Hendris

Di tempat

Selamat! Kamu lolos dalam tahap akhir beasiswa student exchange ke Bern, Swiss.

Kalimat pertama di dalam surat tersebut sukses membuat air mata Raga tumpah. Ia yang sedari tadi tidak kuat menahan tangis karena rasa kesalnya kepada Ayahnya, kini berganti menjadi air mata haru melihat keberhasilan Rey.

Ia kemudian memeluk adik laki-lakinya itu.

"Lo harus berangkat," kata Raga sambil memegang pundak Rey. "Ini kesempatan lo pergi dari sini, Rey. Kejar cita-cita lo. Gue dukung 100%"

Rey menunduk, tampak ragu. "Mama sama adik-adik gimana?" Tanyanya dengan tatapan mendalam. "Lo? Gimana?"

Raga berkaca-kaca lagi. "Gak usah peduliin kita. Lo berangkat aja. Urusan biaya, lo nggak usah mikirin. Nanti gue yang atur. Pokoknya, lo tinggal belajar aja. Oke?"

Dan percakapan itu yang akhirnya mengantarkan Raga berdiri sekarang di hadapan Ayahnya, laki-laki yang sangat Ia benci.

"Ayah harus siapin biaya Rey buat sekolah," Raga, dengan bibirnya yang sudah bergetar menahan rasa kesal, berusaha mengontrol emosinya.

"Kalau gue gak mau gimana?" Ayah Raga sibuk memperhatikan kartu di tangannya. Dengan rokok yang masih terselip di bibir, tak sedikitpun wajahnya menoleh ke arah Raga.

Teman-temannya tertawa. "Lagian ngapain sih jauh-jauh sekolah ke Swiss? Buang-buang duit aje." Kekeh salah satu teman Ayahnya yang sudah sedikit teler.

Kalimat-kalimat meremehkan itu bergilir dari satu mulut ke mulut lain. Dan tidak ada sedikitpun pembelaan dari Ayahnya.

Raga, yang kesabarannya sudah di ambang batas, meninju wajah Ayahnya tepat di hidung. Ayahnya termenung, begitu juga teman-temannya.

Tidak sampai 2 menit, Rony pun habis dipukuli walaupun sudah berusaha melawan.

Malam itu, Rony bersumpah, Ia tidak akan mengakui Ayahnya lagi dan akan menganggap dirinya anak yatim. 


APARTEMEN 4 PINTUDonde viven las historias. Descúbrelo ahora