Raga mengelap keringat yang mengalir di lehernya berulang kali. Bajunya basah, dan kulitnya sudah gosong. Pantulan sinar matahari yang tepat di depan wajah membuat matanya silau. Jakarta sedang terik-teriknya siang itu. Dan tanpa mengindahkan sebuah fakta yang ia sendiri pun tahu - bahwa Jakarta akan selalu panas di jam 11 siang - tak membuatnya pergi meneduh dari tempat itu. Ia tetap berdiri disana, menunggu seseorang.
Hari itu, Raga berulangtahun yang ke 22. Sebenarnya, ia tidak pernah peduli dengan perayaan ulang tahun. Ralat, Raga mulai tidak peduli dengan perayaan ulang tahun semenjak orangtuanya juga tidak pernah lagi mengingat perayaan itu.
Raga tiba-tiba mengenang masa-masa itu. Masa dimana ketika orangtuanya masih baik-baik saja. Masa dimana ketika Ayahnya belum mengenal judi dan Ibunya masih sehat. Masa dimana ketika Ayahnya adalah role model dalam hidupnya untuk segala aspek. Cara bicaranya, cara berjalannya, cara berpikirnya, Raga suka semua itu dari sosok Ayahnya. Menurutnya, perasaannya saat itu terhadap Ayahnya adalah perasaan yang sangat indah, karena Raga tidak bisa merasakan itu lagi sekarang.
"Woi!" Seseorang menepuk pundak Raga dari belakang, membuatnya terlonjak kaget. "Ngelamunin apaan sih, lu? Sampai telfon gue nggak diangkat, chat gue juga nggak dibalas," gelak tawa pria di hadapannya membuat Raga menghela napas lega.
"Anjir lo, Ngga. Gue kira gue mau di hipnotis tadi," balas Raga sambil mengusap dadanya.
Angga tertawa lagi. Dan setelah tawanya reda, telfonnya berbunyi.
"Sorry, bentar, Ga. Gue angkat telfon dulu," Angga mengisyaratkan tangannya dan pergi sedikit menjauh. Raga mengangguk, dan sementara Angga sedang berbicara - entah kepada siapa - Raga memperhatikannya.
Tidak ada yang berubah dari Angga semenjak mereka berteman dari semester 1 kuliah. Angga yang gondrong, dengan kaus putih dan kemeja kotak-kotak terbuka, celana jeans, ikat pinggang, dan sepatu running serta tas ransel hitam yang...Ya ampun, bukankah itu tas ransel dari zaman kuliah juga?
Raga menggeleng-gelengkan kepalanya. Orang yang melihat Angga pasti hanya akan menganggap laki-laki itu pria biasa dengan uang pas-pasan dan setiap akhir bulan harus irit makan agar uang bulanannya cukup. Tunggu saja sampai mereka tahu dibalik jaringan internet dan kartu provider yang orang rata-rata pakai di Indonesia itu ada Ayahnya Angga. Iya, Ayahnya Angga menjabat sebagai salah satu bos besar di perusahaan provider. Tapi, Angga tidak pernah mau mengakui itu, bahkan ia sengaja tidak memakai nama belakang Ayahnya untuk pendaftaran apapun yang membutuhkan nama lengkap.
"Gue cuma nggak mau orang temenan sama gue karena gue anak orang kaya, bokap gue bos, bokap gue banyak duit. Biarin gue dibilang miskin, gembel, tapi orang beneran tulus main sama gue," kenang Raga saat Angga menceritakan kehidupannya waktu mereka kuliah dulu. Sampai saat ini, teman dekat Angga hanya Raga, dan Raga sering terbantu banyak oleh Angga.
Contohnya hari ini.
Angga kembali menghampiri Raga setelah menutup telfonnya.
"Sorry ya, Ga, gue telat tadi. Stasiun tadi penuh banget. Gue sampai heran kenapa orang banyak banget di dunia ini. Di siang bolong begini pula. Emang nggak bisa pada rebahan aja apa ya jam segini?"
Raga terkekeh mendengar keluhan Angga. "Emang udah paling bener kita pindah ke Mars, Ngga. Tinggal nunggu NASA ngasih pengumuman aja."
Angga tergelak. Ia kemudian menatap wajah Raga, "Gimana jadinya, Ga?"
Raga berdeham. "Gue tetap jual aja, Ngga. Biar gue nggak bebanin lo."
"Tai lo," Angga berdecak. "Apaan tuh beban-beban. Nggak pernah gue merasa terbebani sama lo. Terbebani kalau lo minjem duit gue 15 Milyar, abis itu sertifikat rumah gue lo jual. Baru terbebani tuh gue."
YOU ARE READING
APARTEMEN 4 PINTU
Teen FictionDi setiap keluarga, anak pertama harus jadi anak yang paling diandalkan, yang bisa melindungi adik-adiknya, yang bisa jadi pemimpin, yang kelak harus bisa menjadi wali dan wakil jika adik-adiknya terluka atau disakiti. Tapi, anak pertama tidak bisa...
