[5] Salah Jalan?

9 2 0
                                    

--- Selamat Membaca ---

Ramainya orang kini telah memenuhi isi kantin. Aku jadi bingung mau lewat ke sebelah mana. Namun, ketika ada sela sedikit, langsung saja aku menyempil. Toh, tubuhku juga tak begitu besar, jadi bisa nyelip.

Sesuai yang kukatakan sebelumnya, aku hanya membeli roti satu bungkus dan satu air mineral gelas. Itu sudah cukup. Setelah melakukan transaksi, aku segera berbalik dan hendak pergi dari desakan siswa-siswi di sini. Akan tetapi, karena mataku yang tak awas, aku malah menabrak seseorang.

"Aduh!" Aku mengeluh, karena kepalaku terbentur dada bidang seseorang.

"Ra?"

Aku menoleh ketika mendengar siapa yang menegurku barusan. "Eh, Kak Lintang? Aduh, maaf. Lentera nggak lihat-lihat jalannya." Aku merasa bersalah karena kecerobohanku.

Kak Lintang hanya mengangguk sambil berkata, "Lain kali hati-hati, Ra."

Aku menyengir tanpa dosa. "Iya, Kak. Maaf, ya."

Kak Lintang mengangguk. Kemudian, pandangannya jatuh pada genggaman yang berada di tanganku. Lantas, ia bertanya, "Habis beli apa?"

"Ini." Aku mengangkat roti dan air mineralku dengan bangga. "Beli roti satu bungkus, sama air putih. Kakak mau beli apa?"

"Emang kenyang makan itu doang?" Bukannya menjawab pertanyaanku, Kak Lintang justru mengalihkan hal lain.

"Lumayan buat ganjel, Kak. Ini aja udah cukup, kok. Mana uangnya minjam lagi sama Logan. Hehe," ujarku dengan jujur.

Ah iya, uang lelaki itu. Harus kucatat nanti biar tidak lupa. Karena jika tidak, siap-siap saja Logan akan menghantuiku perihal uang dua ribu. Eh, tetapi sebenarnya Logan anak yang baik. Ini bukan sekali dua kali aku meminjam uangnya, tetapi sering. Kadang-kadang aku selalu diomelinya karena tak sempat sarapan. Ya, mau gimana?

Satu pesan dari Logan, jangan terlalu boros. Kalau saja dia tahu aku melakukan itu, maka dalil-dalil mengenai keuangan akan ke luar dari bibir lelaki itu. Kapok. Aku sudah pernah melakukannya ketika SD.

"Minjam? Kok bisa?" Pertanyaan Kak Lintang, membuatku tersadar dari lamunan. Aku kembali fokus padanya.

"Biasa, Kak. Lentera tadi nggak sarapan, nggak bawa uang jajan juga. Jadi, minjam uang Logan, deh. Dia, kan, banyak duit. Sesekali porotin uangnya," jawabku sambil tersenyum jahil.

"Kamu duduk di sana, kita makan mie ayam." Kak Lintang menyuruhku tiba-tiba. Aku yang ketika diajak bicara suka lemot, merasa bingung.

"Eh, tapi Kak—"

"Duduk di sana, Ra."

Mendapat perintah seperti itu, aku segera mengikutinya. Daripada terus bertanya dan membuat lelaki itu kesal, lebih baik aku mengikuti perintah Kak Lintang. Tak sampai sepuluh menit, Kak Lintang kembali dengan sebuah nampan yang berisi dua mangkuk mie ayam dan dua gelas es teh.

"Ini, dimakan dan habiskan," perintah Kak Lintang.

Jujur, aku jadi tak enak hati telah jujur padanya. Coba saja aku tidak memberitahunya, pasti Kak Lintang tak perlu repot membeliku makanan segala. Tetapi ... kalau ditolak sayang. Perutku sudah bernyanyi sejak tadi. Aish.

"Kenapa diem? Nggak suka, ya?"

"Eh, nggak gitu, kok. Lentera suka! Tapi, Lentera jadi nggak enak sama Kak Lintang. Harusnya Kakak nggak perlu repot beliin makanan segala buat Lentera. Roti tadi udah cukup sebenarnya," jelasku padanya.

"Satu roti cuma bikin kenyang dalam waktu jangka pendek, Ra. Udah tinggal makan aja susah banget."

Akhirnya, aku pun memakan pemberian Kak Lintang. Sebenarnya yang dikatakannya barusan memang benar, satu roti tak membuatku kenyang sampai siang nanti. Untunglah Kakak yang satu ini berbaik hati padaku. Jadi, aku tak akan merasa kelaparan, dan roti ini bisa kumakan ketika siang nanti.

Lentera Senja✓Where stories live. Discover now