Kembali

360 52 12
                                    

"Lin"

Tepukan di bahu membuat Halilintar menoleh. Manik merahnya mendapati Blaze yang memanggilnya.

"'Paan?"

"Ikut ngebakso kaga? Anak-anak pada mau ngebakso tuh, sekalian futsalan"

Halilintar mendengus.

"Gue pass, mau ngejar laprak. Lo juga kerjain noh tugas, demen banget sks-an"

"Idih, tumben banget Yang Mulia Pangeran Halilintar Raeden ngomel. Serem banget, wak. Tugas 'mah bisa 'ntaran aja. Gue butuh healing dengan main futsal" Blaze menepuk dadanya, merasa bangga. Tingkahnya disambut dengan geplakan di belakang kepala oleh Halilintar.

"Betah banget jadi orang tolol, heran" Blaze mendelik.

"Mulut lo Lintar anjing, gaada filternya"

Halilintar kembali mendengus, kemudian menyampirkan tasnya di bahu. Mereka berdua melangkah keluar kelas.

"Nugas dimana lo?" tanya Blaze.

"Kafe dekat gerbang empat. Tiga minggu lalu direkom Yaya. Well, gue butuh wi-fi nya, sih. Bagus wi-fi disana" Blaze mengangguk, tanda mengerti.

Sampai di halaman fakultas, Blaze segera berpamitan pada Halilintar.

"Oke, gue duluan ya Lin. Disuruh ngumpul di gerbang dua. Lo 'mangat nugasnya, ya"

Halilintar hanya mengangguk dan melambai singkat.

🍃🍃🍃

Kling

Lonceng penanda datangnya pengunjung berbunyi saat Halilintar membuka pintu kafe. Halilintar melihat-lihat sekitar, memindai suasana.

Kafe yang bernuansa vintage itu terlihat nyaman di mata Halilintar. Dekorasi yang sederhana namun apik, tidak berlebihan. Meja-kursi yang disusun sedemikian rupa, serta rak-rak kayu kecil yang diisi dengan beberapa pajangan serba kayu menambah nilai estetika.

Halilintar berjalan menuju meja pemesanan.

"Selamat sore, Tuan. Ingin pesan apa?"

Daftar menu disodorkan.

"Hmm, aku ingin Mint Lava Cake dan Ice Americano two shots"

"Baik, ada lagi?"

"Tidak. Itu saja dulu"

"Baiklah. Silahkan ditunggu pesanannya"

Halilintar mengangguk. Sembari menunggu pesanannya, ia mengecek ponselnya. Ada banyak pesan masuk, namun hanya ia abaikan.

"Silahkan pesanannya, Tuan"

"Hm, terimakasih"

Halilintar membawa nampan berisi pesanannya ke meja disudut kafe, tempat ia biasa duduk saat berkunjung ke kafe itu beberapa hari belakang. Setelah duduk dengan nyaman, pemuda serba merah itu membuka laptopnya. Sebelum mulai menyibukkan diri dengan tugas, ia mengecek arlojinya.

"Jam 4 lewat 15, berarti sekitar 45 menit lagi" gumamnya tak jelas. Kembali memfokuskan perhatian pada laptop dihadapannya. Tak butuh waktu lama ia sudah tenggelam pada dunianya sendiri.

Entah sudah berapa lama waktu berlalu, Halilintar masih sibuk dengan laporan yang dikerjakannya. Seakan tak peduli dengan kebisingan disekitar. Namun tak lama, fokusnya buyar hanya dengan sebuah suara.

"Selamat sore, teman-teman! Taufan kembali lagi untuk membawakan lagu-lagu yang akan menemani sore kita yang indah ini. Selamat menikmati!"

Halilintar melepas airpod yang terpasang ditelinganya.

"Melihat tawamu
Mendengar senandungmu"

Ini.

Dia ini alasan Halilintar berada di kafe ini setiap Selasa, Rabu, dan Sabtu sore dalam dua minggu ini.

"Terlihat jelas dimataku
Warna - warna indahmu"

Persetan dengan alasan wi-fi. Heck, bahkan wi-fi di kamar Halilintar dua kali lebih bagus daripada di kafe ini.

"Menatap langkahmu
Meratapi kisah hidupmu
Terlihat jelas bahwa hatimu"

Namun pemuda ini.

Pemuda yang mampu menarik perhatian seorang Halilintar dengan suaranya.

"Anugerah terindah yang pernah kumiliki"

Senyum tipis terbit di wajah Halilintar. Dibukanya aplikasi kamera pada ponselnya.

"Anugerah terindah, heh-"

Malam itu Halilintar tertidur dengan ponselnya yang berulang kali memutar suara Taufan.

🍃🍃🍃

Song and YouWhere stories live. Discover now