28. Tamu Tak Diundang

Start from the beginning
                                    

Mari lupakan bagaimana kekagetan anggota KKN Desa Weringin atas kehadiran Pak Jarot yang terbilang tiba-tiba. Sembari menunggu makanan yang dimasak oleh Ajeng dan Karin matang, sisa dari mereka duduk-duduk lesehan di ruang tamu posko. “Kalau gue pikir-pikir nih ya, kita kayaknya jarang banget ikut nimbrung ke warga. Ikut kumpulan pun sekali dua kali kayaknya.”

Yang dibilang oleh Yusuf ada benarnya juga. Seingatnya anggota laki-laki mengikuti ronda bisa dihitung jari tidak setiap malam seperti kebanyakan warga pada umumnya.

“Kalau gitu entar malem kita ikut ronda. Bagi jadi dua kelompok. Jadi perkelompoknya tiga orang. Gimana? Pada setuju, nggak?” usul Renan yang juga rebahan di samping Jev.

“Tim satu masuk timnya Renan, Tim dua masuk timnya Jendra. Berarti nanti tim sat—”

“Karena berhubung nanti malem gue mau tidur nyenyak. Jadi untuk timnya Jendra silakan untuk memimpin,” potong Renan dengan cepat. Dia yang mengusulkan dia juga yang tak mau lebih dulu. Memang ketua KKN Desa Weringin terbilang sedikit ajaib.

“Kok jadi tim gue yang duluan? Dimana-mana tim satu lah yang dulu,” balas Jendra tak terima.

“Nahh, ituuu! Karena dimana-mana tim satu, jadi di sini tim dua yang duluan. Biar beda dari yang lain.”

Hampir saja Jendra mengeluarkan balasan, Karin dan Ajeng sudah lebih dulu datang dengan beberapa makanan berat yang sudah mereka masak. Wangi yang berasal dari masakan tersebut berhasil membuat anggota yang tadinya rebahan langsung bangun dengan semangatnya. Sejujurnya mereka belum ada yang makan sedari pagi.

“Tumben nih masaknya nggak tempe, tahu, tempe, tahu, tempe, tahu?” tanya Hilman yang terdengar menyebalkan.

Ajeng menunggu giliran untuk mengambil nasi, tapi sebelum itu ia lebih dulu mendengus sebal. “Kemarin, kan, tempe tahu terus soalnya lo belum bayar kas. Jadi duitnya kurang.”

“Sialan. Ada aja lo alasannya.”

“Makanya kalau mau makan enak, harus bayar kas tepat waktu. Kalau nggak tetap ya nikmatin aja apa yang ada.”

Tanpa disangka ternyata Ajeng yang selama ini lebih banyak diam, tetap bisa memberi umpan balik yang menohok kepada lawan bicaranya. Mungkin karena mereka sudah cukup lama berkumpul bersama sehingga membuat Ajeng menjadi nyaman dengan kondisi seperti sekarang. Ajeng juga tak bersungguh-sungguh dalam mengutarakan kalimat tersebut. Ajeng hanya bercanda.

“Oh iya, persediaan di dapur udah mulai menipis. Besok kayaknya harus beli,” beritahu Karin di sela-sela acara makan pagi menjelang siang begini.

Dengan mulut yang masih penuh dengan makanan, Jev menjawab ucapan Karin yang membuat remahan makanan melompat keluar, “List aja dulu apa yang harus dibeli. Jadi besok tinggal ambil bahan-bahannya.”

“SUMPAH JEV. LO JOROK BANGET!!”

Malang sekali bagi Yusuf, kenapa tadi ia memilih untuk duduk di dekat Jev daripada duduk di pojokan. Alhasil dia lah yang menjadi korban dari remahan-remahan menjijikkan yang berasal dari mulut Jev.

“Kalian nggak bisa ya makan dengan tenang gitu? Perasaan dari dulu rame mulu.”

“Salahin Jev lah, Tal. Jangan ke gue. Siapa suruh dia makan sambil ngomong. Muncrattt!!!” balas Yusuf tidak terima. Sedangkan yang jadi pusat pembicaraan hanya mengeluarkan cengiran tanpa rasa berdosa.

Dua belas manusia dalam satu rumah, wajar saja jika tidak bisa diam barang sedetik pun—terkecuali jika sedang tidur—sangat susah mengatur satu persatu agar tetap diam. Karena bagaimanapun mereka adalah remaja menuju dewasa yang masih ingin bermain-main.

**********

Seperti yang telah direncanakan sebelumnya. Tim Jendra akhirnya yang mendapat giliran pertama mengikuti pos ronda. Selain dari mereka sisanya berjaga di posko. Takut-takut kalau mendadak anggota perempuan membutuhkan sesuatu.

Seperti malam ini, meskipun jam dinding masih menunjukkan pukul tujuh malam, Jendra dan timnya sudah lebih dulu berangkat karena ingin berbincang-bincang lebih dulu bersama warga. Khawatirnya jika ada suatu hal yang tidak tahu saat berjaga di pos ronda nanti.

Sella yang telah siap mengenakan hoodie warna abu-abu menunggu Renan memanasi sepeda motor miliknya.

“Yok, naik. Udah bawa catetannya, kan?”

“Amaan,” ucap Sella sembari menepuk saku hoodienya.

“Awas aja kalau ketinggalan.”

Ini bukan pertama kalinya bagi Renan melewati jalanan di wilayah pedesaan ini. Ia menjadi biasa saja sekarang. Beda sekali dengan Sella, perempuan itu terlihat sedikit merapatkan tubuhnya dengan Renan.

“Nggak ada jalan lain apa? Sepi banget. Mana gelap lagi.”

“Nggak ada. Cuma ini. Tenang, nggak usah takut. Di depan sana bakal ketemu kedai lele goreng.”

“Apa hubungannya sama lele goreng?!”

“Seenggaknya, kan, masih ada orang.”

“Tahu darimana lo kalau itu orang?”

“Lah, tau. Gue pernah makan di sana, kok.”

“Mana?”

“Bentar lagi.”

Selama perjalanan Sella tidak henti-hentinya mengajak berbicara. Selain karena ia berusaha menghilangkan rasa takut, Sella tak mau melewati ini semua dengan keheningan. Siapa tahu dengan saling melemparkan obrolan, mereka bisa tiba-tiba sampai ke tempat yang dituju, kan.

“Tuh, warungnya beneran yang punya manusia.”

“Jadinya warung apa kedai? Tadi lo bilangnya kedai.”

“Sama aja nggak, sih?”

“Jelas beda. Warung terkesan lebih sederhana.”

Sebenarnya obrolan semacam ini tak begitu penting. Hanya saja Sella suka melontarkan hal-hal yang random. Dan untungnya Renan menyahuti tanpa banyak protes.

“Eh, Ren, gue mau nanya nih. Lo, kan, anak psikologi ya. Kira-kira menurut lo di masa depan gue gimana?”

Inilah pertanyaan yang paling tak disukai oleh Renan. Hal tersebut bukanlah pertanyaan pertama yang Renan terima perihal yang sama. Sudah tak terkira berapa banyak yang menanyakan dengan konteks tersebut. Oh ayolah, Renan hanya manusia biasa yang kebetulan ambil jurusan psikologi.

Dia bukan cenanyang.

“Sel.”

“Apa?”

“Lo tahu psikologi, kan?”

“Tahu,” jawab Sella cepat, tapi sepertinya perempuan itu nampak berpikir. “Hmmm, yang bisa tahu perasaan orang itu, kan?”

“Terus?”

“Terus kerja di rumah sakit kejiwaan.”

Jika saja saat ini Renan tidak sedang berada di atas motor. Laki-laki itu yakin kalau Sella pasti bisa mendengarkan hembusan napasnya yang sedang menahan kekesalan.

“Sel, gue itu ambil jurusan psikolog, bukan cenayang. Jelas gue nggak tahu gimana lo nanti ke depannya.”

“HA, APA? GUE NGGAK DENGER!”

“Ke depannya lo bakal hidup enak. Punya duit banyak. Suami ganteng dan setia.”

“AAMIIIN,” sahut Sella diselingi tawaan renyah.

Renan jadi merasa sedikit menyesal karena mengiyakan ajakan Sella untuk belanja malam ini.

To be continued.

**********

Teman-teman, jangan merasa aneh ya kalau semisal Renan sama Karin kebanyakan muncul di cerita ini. Soalnya dua tokoh itu jadi karakter utama di sini . Jangan lupa feedbacknya yaa 🙌🏻

Dear, KKNWhere stories live. Discover now