1

55 7 2
                                    

Tepat pukul 11.00 kabar baik menaungi telinga kanan dan kiri para penanti selama berjam-jam.

Xeno terbangun dari mimpi panjangnya, perlahan dengan deru nafas yang mulai terdengar. Kabar baik untuk semua orang. Ungkapan syukur tak henti-hentinya menggema di sepanjang koridor rumah sakit. Tangis haru bersahutan. Saling merangkul, berpelukan, dan tetap bergandeng tangan. Bersama semuanya baik-baik saja.

Namun di tengah kabar baik itu mereka harus ikhlas dengan kabar buruk yang mengikuti. Di antara tangis haru atas keselamatan Xeno pun terdapat tangis kesedihan. Begitu pilu.

Sang pemimpin telah pergi. Manusia baik telah kembali ke tempat terbaik. Dia yang mereka sayangi telah pergi untuk selamanya.

Alden, pada Jum'at pagi, lima belas menit setelah Xeno kembali membuka matanya, Alden menutup rapat matanya untuk selama-lamanya.

Xeochiko Alden Behmana, tepat pada tanggal 22 Desember 2022 pukul 11.00 telah pergi meninggalkan kita semua. Selamat jalan pemimpin terbaik. Kami ikhlas, meski kami tak yakin kami akan tetap baik-baik saja tanpamu.

Xeno Fherdie Zodia, laki-laki dingin itu kini meringkuk di atas dinginnya lantai kamar. Air matanya deras mengalir, membasahi seluruh wajahnya. Nafasnya tersengal, sesekali suaranya tercekat. Dipeluknya sebuah figura foto dengan begitu erat. Ia menyesal atas apa yang terjadi. Laki-laki di dalam foto itu seharusnya masih ada di sini. Masih memimpinnya beserta pasukan yang lain. Alden, seharusnya masih berdiri tegak di hadapannya.

"Kenapa lo harus berkorban sebesar ini, Al?" lirih Xeno. Tangisnya begitu pilu, menyayat hati siapapun yang mendengarnya. "Lo ga seharusnya donorin jantung lo untuk gue. Lo ga perlu ngelakuin semua ini," Xeno semakin erat memeluk figura tersebut. Ia menyesali atas apa yang Alden lakukan. Seharusnya ia yang pergi. Seharusnya dia yang mati, bukan Alden.

"Lo yang harusnya hidup sekarang, Al. Gue cuma cowok pengecut yang ga pantes nerima semua ini. Gue ga pantes untuk semua pengorbanan lo, Al..." Xeno semakin memilu. Ia tak pernah merasa sehancur ini selama hidupnya. Ia tak pernah merasa sangat malu seperti ini.

Xeno terus menangis hingga ia tak sadar bahwa Bunga---Mamanya--- memasuki kamarnya. Mama Bunga bergegas memeluk anak laki-lakinya yang teramat hancur itu. Ia peluk erat, ia bisikkan kata-kata yang dapat menenangkan Xeno. Xeno berbalik badan, ia membalas pelukan wanita yang melahirkannya itu. Ma, anakmu ini hancur, benar-benar hancur.

"Xeno, tolong jangan seperti ini, Nak. Ini bukan kesalahan kamu..." Mama Bunga mengelus lembut surai Xeno. Ia ikut menangis memeluk anaknya itu. Ibu mana yang tak hancur hatinya melihat anak laki-laki semata wayangnya menangis sejadi-jadinya seperti saat ini.

"Kenapa Alden ngelakuin ini, Ma? Kenapa Alden donorin jantungnya untuk aku? Aku ga pantes untuk nerima semua ini, Ma..." Xeno lagi dan lagi terus menyesalkan apa yang Alden lakukan. Pengorbanan sebesar ini tak seharusnya ia dapatkan. Ia merasa tak pantas.

"Nak, Alden donorin jantungnya untuk kamu atas keinginannya sendiri. Dia ga dipaksa sama siapapun. Itu berarti Alden tau bahwa kamu sangat berharga untuk dunia ini. Alden sayang dengan kakaknya ini," ucap Mama Bunga sembari mengelus punggung Xeno.

Xeno semakin merasa sakit saat Bunga mengatakan bahwa Alden menyayanginya sebagai seorang kakak. Tak bisa dipungkiri bahwa kini mereka telah menjadi saudara. Alden dan Xeno adalah satu garis yang telah ditakdirkan Tuhan untuk ada di dunia ini.

"Tolong jangan larut dalam kesedihan seperti ini, Nak. Sudah hampir dua bulan kamu begini. Alden pasti sedih kalau lihat kamu sedih seperti ini. Alden pasti ga mau kamu sedih, Xeno." Xeno menatap wajah Mamanya itu dengan mata basahnya. Mata itu seolah memberi tahu bahwa ia tak sanggup. Ia tak sanggup untuk melanjutkan hidupnya seperti sebelumnya.

XANTHOUSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang