C2- Ditarik Masa Bung Hatta

3 1 0
                                    

"EMAK JANGANKAN TANAH BANGKA, TANAH BELITUNG PUN KUHARUMKAN DI NEGERI INI!"

Konyol, Hamidah berhalusinasi. Bahkan, di siang-siang terik seperti ini, gadis itu malah berteriak dengan lantang seolah dirinya sosok pejuang.

Omong kosong, begitu pikir Suryani sambil mengelap dulang untuk dibawa nanti ke balai desa.

"Sudahi anganmu. Lanjutkan hidupmu sebagai anakku, ikuti perintahku dan setelah ini panggil abangmu. Bawa dia kemari aku ingin berbincang banyak."

"Alah, Mak! Kau tahu sosok yang kukagumi? Dia presiden pertama kita, aku ingin jadi seperti beliau."

"Perjuangan sudah lewat, tidak ada penjajah di negeri kita ini. Kau jangan banyak bermimpi. Kau mau mati?"

"Apa karena aku hanya anak kecil mamak bilang seperti ini?"

Suryani memilih tak bersuara, berdebat dengan Hamidah membuatnya banyak kehilangan waktu, terhitung dua puluh menit lagi adzan Maghrib berkumandang, Suryani masih belum usai menyiapkan makanan untuk nganggung.

Hamidah menuruti perintah mamaknya, gadis itu memanggil abangnya yang sedang berada di ladang timah, setelah usai dengan tugasnya dia bergegas kembali ke rumah.

Napasnya tersengal-sengal, karena sempat berlari.

"Dia akan segera kembali, Mak. Mamak tunggu saja."

"Baiklah. Makanan sudah kusiapkan, silakan kau makan."

Hamida menggeleng kepalanya, gadis tak ingin makan sekarang.

Hamidah yang melihat mamaknya itu memilih duduk di atas tempat tidur yang ruang tak begitu luas itu digabungkan dengan dapur.

Hamida bosan, gadis itu melihat mamaknya sibuk dengan kegiatan meletakkan piring, hingga matanya terpejam menikmati suara piring beradu dengan dulang.

Hamida tertidur pulas.

***

Semarak suara dan tombak menghiasi pemandangannya, Hamidah dibuat bingung.

Gadis itu berjalan mundur, wajahnya terheran-heran saat melihat satu pria berjalan menghampirinya dengan kaki tertatih-tatih.

"Segeralah kau pergi dari tempat ini, bersembunyilah!"

Hamidah terkejut mendengar suaranya, gadis itu bertambah bingung. "Kakimu kenapa?"

"Banyak orang akan menumpahkan darah di sini, kaburlah!" teriaknya lagi.

Hamidah menggeleng kepalanya. "Aku tidak mengerti."

"Ikuti kataku!"

"BUNG HATTA!" Hamidah melotot, ketika teriakan itu menyuarakan nama yang tak asing ia dengar.

"Belanda sedang mencarimu, mereka akan menyetujui permintaanmu untuk kembali."

"Aku tidak ingin kembali, sebelum hak petani atas tanahnya dikembalikan!"

Hamidah mendengar perbincangan mereka berdua hanya bungkam. Gadis itu tak percaya apa yang ia lihat sekarang.

Gadis itu mengedarkan pandangannya, apa ini tempat pengasingan Mohammad Hatta saat penguasa Belanda menuduh Hatta mengikuti partai terlarang yang dikait-kaitkan dengan Semaun, yang terlibat pemberontakan di Indonesia yang dilakukan PKI dari tahun 1926–1927.

Hamidah sedikit ingat, ketika Ibnu ayahnya bercerita, gadis itu menyoroti pandangannya dan terkejut ketika melihat Hatta di depan matanya dengan penuh kegagahannya.

"Hey! Kenapa kau masih di sana?"

Hamidah terkesiap, gadis itu menggeleng kepalanya. Dirinya hendak melangkah menghampiri Hatta, tiba-tiba sebuah batu besar mendarat ke arahnya.

Hatta yang melihat langsung bersiap, sedangkan gadis itu yang sadar ada bahaya di depannya berteriak keras.

"AAAAAAAAAAA!"

"Hami! Bangun! Kau harus sholat Maghrib!"

Hamidah bangun dari tidurnya dengan napas terengah-engah.

"Mak! Ak-aku tadi bermimpi aneh, ada Bung Hatta di dalam mimpiku, ini seperti nyata!" ucap Hamidah.

"Jangan mengada-ada itu hanya mimpi!"

"Tapi, Mak ...."

"Sudah, ambil wudhumu! Setelah itu sholat dan membantuku mencuci piring."

Berkelana pada DukaWhere stories live. Discover now