"Aku memang masih dua puluh, tapi fisikku kayak 50 tahun."

Tawa Om Matthias pecah saat mendengar jawabanku.

Aku meliriknya. Sangat berbanding terbalik denganku, dia masih segar bugar. Padahal scene yang dilakoninya lebih banyak. Di usianya, Om Matthias begitu bugar, dengan badan liat dan kekar yang hanya bisa didapatkan lewat aktivitas outdoor.

Om Matthias memang dikenal sebagai pecinta olahraga ekstrem. Dia juga suka mendaki gunung, akibat bergabung dengan mapala di kampusnya waktu kuliah dulu. Belakangan dia sering melakukan off road. Jadi tidak heran jika perawakannya terlihat kasar dan kuat.

Berbanding terbalik denganku yang untuk olahraga selalu malas. Selama dua bulan reading di Jakarta, aku juga harus latihan fisik. Ada trainer khusus yang disiapkan untuk melatihku, juga nutrisionis yang mengatur pola makanku.

"Matt, Sura, ready ya."

Aku menghirup napas panjang-panjang sebelum mengikuti Om Matthias menuju lokasi take.

"Scene 20 ya," ujar Mas Dwiki.

Scene itu mengharuskanku berada di pondok gelap bersama Om Matthias, bersembunyi sekaligus merencanakan cara menyelamatkan Reno.

Aku memasuki pondok. Tim produksi begitu memperhatikan setiap detail, sehingga pondok ini terasa pengap dan kotor. Aku harus menahan diri untuk tidak batuk.

Mas Dwiki sangat perfeksionis. Setiap adegan dipikirkan dengan matang. Di scene ini, baik aku atau Om Matthias tidak ada yang bersuara. Kami berdialog lewat mimik wajah. Ini salah satu tantangan yang harus kulakukan.

"Good job, Ra," puji Mas Dwiki.

Syuting hari ini sudah selesai. Tubuhku sudah meronta minta diistirahatkan, tapi aku harus latihan untuk take besok.

Di mobil, aku menyerah pada kantuk. Aku baru tersadar ketika ada yang membangunkanku.

Saat membuka mata, aku terkesiap. Satu hal yang terlintas di benakku.

Dada bidang.

Shit, aku ketiduran di dada siapa?

Perlahan, aku mengangkat wajah dan langsung disambut senyum Om Matthias. Sontak wajahku memerah.

"Nyenyak tidurnya?" Godanya.

"Om sorry," aku gelagapan.

Om Matthias cuma tertawa. "Nggak masalah, Ra. Kamu pasti capek banget."

Aku mengangguk.

"Istirahat, besok masih panjang."

Aku mengikuti Om Matthias turun dari mobil. Mataku mengikuti punggungnya.

Darahku berdesir saat aku menyadari, betapa nyaman saat tertidur di dadanya.

Wajahku sontak memerah. Apa yang barusan kupikirkan?
***

Tak terasa, sudah satu minggu aku di sini. Tubuhku mulai beradaptasi dengan tuntutan syuting yang padat.

"Miss me, Babe?" Di layar handphone, ada Ricky, pacarku.

"Kamu kali yang kangen," godaku.

"Banget." Ricky merajuk. "Aku beneran enggak boleh ke sana?"

Aku menggeleng. Ricky bersikeras untuk menemani, tapi aku tidak ingin terdistraksi. Satu lagi, Ricky masih kesal karena gagal mendapatkan peran di film ini. Dia sangat membutuhkan peran Dimas, tapi gagal mendapatkannya. Aku tidak mau kehadiran Ricky membuat suasana tidak nyaman.

"Tiga minggu lagi aku selesai."

Ricky mulai merajuk. Kadang sifatnya yang seperti ini membuatku mempertanyakan hubunganku dengannya.

Woman's NeedWhere stories live. Discover now