[One] The Invitation

142 26 4
                                    

Kesendirian. Penghinaan. Rasa sakit yang tiada akhir.

Pemuda itu tenggelam dalam ruang keputus-asaan. Dalam isak tangisnya yang diredam entah sejak kapan, ia merapal beberapa mantra yang ia yakini dapat mengembalikan sosok yang ia rindukan.

Aima.

"Kumohon, kembalilah."

Dirasanya air mata itu kembali turun dengan deras kala ia melihat sepasang sepatu yang sangat ia kenali berjalan mendekat ke arahnya, membawa sesuatu yang membuat firasatnya menjadi tak karuan.

"Please, come to me." Lirihnya kemudian usai membaca mantra untuk terakhir kalinya, membiarkan tubuh lemah itu diseret dengan kasar menuju ke suatu tempat.

.
.
.

🍃🍃🍃🍃🍃
.
.
.

Marieland City, xxxx

Target Hugh selanjutnya adalah sebuah rumah yang terletak di area dalam hutan, tak jauh dari tempatnya bekerja

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Target Hugh selanjutnya adalah sebuah rumah yang terletak di area dalam hutan, tak jauh dari tempatnya bekerja. Rumah itu terlihat cukup besar, terkesan horor sebab lokasi dan kurangnya penerangan.

Alih-alih segera pergi menuju ke tempat tujuan, Hugh justru lambatkan laju motor sembari kerutkan kening pada wajah bingungnya. Ia coba ingat sesuatu yang terasa mengganjal, dimana selama 5 tahun ia bekerja, Hugh sama sekali tidak pernah tahu jika ada sebuah rumah yang berdiri kokoh disana.

Apakah rumah ini terlewat dari pengelihatannya selama 5 tahun?

Hugh lantas menggeleng pelan sembari ulaskan senyum tipis. Jawaban paling masuk akal, jika mungkin ia lupa atau terlalu acuh pada sekitar. Terlalu fokus pada pekerjaan tentu membuat banyak orang tak begitu memperhatikan sekitar.

Sama seperti saat ini, tak sadar Hugh telah sampai tepat di hadapan bangunan tujuan yang begitu kokoh sebab asik pada pikiran. Jika dilihat dari dekat, ternyata rumah ini memiliki dekorasi yang mirip bangunan eropa-yang sering Hugh lihat di buku sejarah milik temannya. Sembari Hugh kagumi, ia langkahkan kakinya menuju ke depan pintu besar yang terpasang disana. Lekas ia tekan bel dan menunggu beberapa menit.

Udara malam bertambah dingin seiring berjalannya waktu, menusuk kulit putih Hugh yang masih setia berdiri di depan pintu, menunggu pemilik rumah bukakan pintu hingga bel ketiga ditekan. Sayang, benda besar itu masih tertutup. Hugh tak merasakan adanya pergerakan seseorang atau suara yang terdengar dari dalam rumah.

Dihelanya nafas sejenak, lalu Hugh tatap arloji di pergelangan tangan kirinya. Ia perkirakan mungkin sudah hampir lima belas menit berlalu. Detik berikutnya, pemuda bertubuh tinggi itu tatap pesanan ayam goreng yang masih tersusun rapih di atas sepeda motornya. Tak ada waktu lagi, Hugh harus segera antarkan pesanan sebelum para pelanggan menunggu.

Maka ini yang terakhir, ia coba ketuk kembali ketuk pintu besar bercat cokelat di hadapan, berharap semoga setelah ini sang pemilik segera menyahut dan mengambil pesanannya.

absconditus [ENHYPEN]Where stories live. Discover now