Delapan

27 8 3
                                    

Rara segera menepikan motor untuk menghubungi nomor Mas Yudi. Sebelum meneleponnya, ia mengirimkan sebuah pesan bahwa ia adalah adik dari orang yang ditemuinya semalam.

"Maaf Mbak, saya tidak ada hubungan apa pun dengan insiden itu," tukas Mas Yudi begitu teleponnya diangkat setelah panggilan kelima.

"Saya tidak menuduh Mas Yudi terlibat dalam insiden kematian kakak saya. Saya hanya ingin bertemu untuk menanyakan bagaimana kakak saya ketika bertemu dengan Mas Yudi semalam. Mungkin ada sesuatu yang tidak saya ketahui."

Laki-laki itu diam sejenak. Jelas jika telepon Rara bukanlah telepon pertama yang ingin meminta keterangan darinya. Rara berasumsi jika petugas polisi itu sudah lebih dulu menghubunginya.

"Sekarang saya masih sibuk, ada urusan di Lampung sampai besok. Mungkin lusa baru bisa menemui Mbak."

Rara mengembuskan napas panjangnya. "Baik, lusa saya akan kembali lagi," jawab Rara. "Terima kasih. Mungkin Mas Yudi mengaggap ini tidak penting, tapi informasi sekecil apapun mengenai kakak saya sangat berarti."

Setelah telepon itu ditutup, Rara langsung membenamkan kepalanya pada kedua tangan yang disilangkan di atas speedometer. Ia menangis sejadi-jadinya. Rara tidak menyangka jika semua ini terjadi dengan begitu cepat, hingga menjungkirbalikkan dunianya.

Rara menyesal selama ini tidak begitu memedulikan perhatian kakaknya. Ia terlalu asik dengan dunianya sendiri dan menganggap bahwa Arlan bukan bagian dari dunianya. Mereka memang terlahir dari ibu yang sama, tapi memiliki ayah yang berbeda. Hal itu yang membuat Rara merasa tidak pernah memiliki kakak selama ini, karena sejak kecil mereka sudah tinggal terpisah dan hanya sesekali bertemu.

Tangis Rara masih belum reda. Ia tidak peduli dengan kendaraan yang melintas, yang beberapa di antaranya dengan terang-terangan menurunkan laju kendaraan untuk menengok ke arahnya. Dadanya masih terasa sesak. Ia ingin semua gumpalan tangis itu ia keluarkan, tanpa bersisa lagi.

Rara tiba di rumah satu jam setelahnya. Ibu sudah menunggu di ruang tamu.

"Ada telepon dari tante Viona kalau nanti malam akan ada pengajian di rumahnya. Dia bertanya apa kita bisa datang?"

"Ibu pasti akan merasa tidak nyaman saat bertemu dengan keluarga Om Mahendra nanti di sana. Mungkin Tante Viona sengaja mengundang Ibu, supaya Ibu merasa tidak enak."

"Rara!" tegur Ibu. "Jangan selalu berpikiran buruk dan suuzan."

"Tapi memang begitu kan. Waktu itu Tante Viona sengaja mengundang kita ke acara pertunangan Kak Arlan dan Ibu dipermalukan di sana."

"Jangan mengungkit kejadian yang sudah berlalu. Tante Viona benar-benar tulus menyayangi dan membesarkan kakakmu seperti anaknya sendiri."

"Apa Ibu melihat ketulusan dari air mata yang dibuat-buatnya saat pertemuan di ruang dokter itu?" Rara berang. "Kalau Kak Arlan meninggal, siapa yang akan diuntungkan? Tante Viona dan anaknya adalah pewaris harta Om Mahendra kelak."

"Rara!" Suara Ibu kembali meninggi. "Ibu tidak membesarkan anak yang keras kepala dan keras hatinya."

Seketika Rara terdiam.

"Nanti sore kamu temani Ibu ke sana. Sekarang kamu istirahat dulu. Kamu belum tidur semenjak pergi ke rumah sakit." Nada suara ibu sudah kembali normal.

Rara tidak mau membantah dan menyakiti hati Ibu lagi. Baginya, harta paling berharga yang dimilikinya di dunia ini adalah ibunya. Ia hanya memiliki Ibu, satu-satunya orang yang paling peduli dan menyayanginya. Rara tidak ingin kehilangan orang yang berharga lagi dalam hidupnya.

"Maafkan Rara, ya, Bu." Rara segera memeluk Ibu, untuk meminta maaf.

***

Tubuh Ibu demam menjelang ashar. Rara mengajak Ibu untuk memeriksakannya ke klinik yang tidak jauh dari rumah, tapi Ibu menolak dengan alasan demamnya akan segera turun jika beristirahat sebentar.

Rara meminta Ibu untuk membatalkan rencananya ke Jakarta untuk menghadiri pengajian. Namun, Ibu bersikeras untuk berangkat dan meyakinkan Rara jika kondisinya akan segera membaik.

"Kalau begitu, biar Rara sendiri yang datang mewakili Ibu."

Ada keterkejutan yang sangat jelas di wajah Ibu.

"Rara janji tidak akan mengacau atau membuat keributan. Rara akan menjaga nama baik Ibu selama di sana."

Dahi Ibu berkerut. "Kamu yakin?"

"Ya, kali ini Rara datang demi Ibu dan Kak Arlan," jawabnya dengan bersungguh-sungguh.

Tepat pukul empat Rara sudah bersiap berangkat. Ia mengenakan gamis hitam dengan pasmina berwarna moka. Baginya hadir lebih awal akan lebih baik, daripada datang ketika keluarga besar sudah berkumpul. Ia bisa mencari tempat persembunyian yang kira-kira aman, hingga mereka tidak menyadari kehadirannya.

Rara tiba di komplek perumahan orang tua Arlan menjelang magrib, dengan menaiki taksi online dari stasiun terdekat. Rumah besar dengan dua lantai dan bercat putih itu masih terlihat sepi dari luar. Rara melihat ada sekitar tiga orang yang menunggu di luar pagar. Sepertinya wartawan. Sementara di dalam rumah, sudah ada beberapa orang yang sibuk berlalu lalang mempersiapkan keperluan untuk pengajian setelah salat isya nanti.

Segera Rara menanyakan keberadaan Ibu Viona kepada salah satu di antaranya. Mendengar suara Rara, Ibu Viona segera turun dari lantai atas.

"Maaf Ibu tidak bisa hadir, karena tadi agak demam. Rara hanya bawa ini." Rara menyerahkan dua bungkusan berisi kue yang sengaja dibelinya di perjalanan.

Ibu Viona menerima bungkusan itu, lalu menyuruh asisten rumah tangganya untuk membawa bungkusan itu ke dapur.

"Iya, tadi Mbak Tyas juga sudah kirim kabar kalau kamu saja yang bisa hadir. Yuk masuk. Kamu bisa duduk-duduk dulu di sofa sana." Ia menunjuk ke arah sofa yang dibuat berderet di salah satu sisi ruangan.

"Em ... Tante, apa Rara boleh istirahat dulu sambil salat magrib di kamar Kak Arlan?"

Ibu sambung Arlan nampak terkejut. "Tapi kamarnya belum sempat dibersihkan lagi. Sudah lama tidak ditempati. Arlan jarang tidur di rumah kalau sedang ada tugas di Jakarta."

"Tidak apa-apa. Rara hanya sebentar."

Tante Viona mengiyakan dengan tatapan tidak yakin. "Ya, naik saja."

Tanpa menunggu waktu lama, Rara langsung bergegas naik.

Waktu Rara masih berusia 10 tahun, Arlan yang terpaut usia 6 tahun dengannya pernah mengajak Rara masuk ke dalam kamar dan memperlihatkan seluruh koleksi mainan robotnya. Rara jadi sedikit bernostalgia melihat beberapa robot itu masih berada di tempatnya semula.

Dulu Rara tidak begitu berantusias dengan segala kemewahan dan kemudahan yang dimiliki Arlan. Karena hal itu berbanding terbalik dengan kondisi yang ada di rumahnya. Semua itu hanya fatamorgana bagi Rara, karena ketika pulang Rara akan kembali lagi ke dunianya.

Azan magrib berkumandang. Suasana menjadi semakin syahdu ketika Rara melihat ke arah luar jendela. Langit malam sudah dipenuhi dengan cahaya lampu yang membentuk titik-titik indah. Rara segera mengambil sajadah dan menghamparkannya.

Selepas salam, Rara tidak buru-buru bangkit. Dia merapalkan banyak doa kebaikan untuk Ibu, Arlan, juga dirinya. Saat Rara masih jatuh kyusuk dalam doanya, tiba-tiba pintu kamar terbuka.

Rara kaget bukan kepalang ketika mengetahui orang yang kini sedang berdiri di depan pintu bukanlah Ibu Viola, Pak Mahendra, asisten, ataupun adiknya Arlan; melainkan Barra.

== Bersambung ==

JEJAKWhere stories live. Discover now