Hono, Risak & Isak

59 9 3
                                    

Sudah begitu lama sejak Hono bisa tertidur selelap ini, atau mungkin dalam arti yang lebih mengkhawatirkan, aku baru saja pingsan.

Sayup-sayup terdengar suara tim track meneriakan slogan mereka, untuk memompa semangat agar lebih membara. Di sayap gedung yang lain, Hono tahu klub musik yang kedatangan tamu dari Fukuoka tadi sedang latihan bersama. Mereka terdengar sedang berusaha menyamakan energi dan harmoni masing-masing, karena suara alat musik itu pecah satu sama lain, seperti sedang disetel.

Ngomong-ngomong, Hono melihat mimpi. Bukankah kalau kita pingsan seharusnya tidak bermimpi? Tapi, Hono melihatnya.

Menarik tapi di saat yang sama juga menakutkan. Hono seperti melihat putaran film yang berbeda, berganti dari satu cuplikan ke cuplikan yang lain. Tetapi, satu pola yang sama dan pasti, seseorang yang selalu ada di depan pandangan Hono itu berakhir menyedihkan.

Meninggal dunia, dikhianati, ditinggalkan.. orang itu pernah bahagia, tetapi pada akhirnya Ia menanggung sakit yang tak terkira. Padahal itu hanya mimpi, mimpi tentang seseorang yang tak Hono kenali, hanya saja entah mengapa begitu menyentuh hingga Hono terisak sendiri begitu sadar. Seolah, Hono dapat mengerti perasaannya. Seolah, Hono menjadi bagian dari kisahnya.

Orang itu berganti-ganti, menjadi lelaki atau perempuan, gadis kecil atau hewan peliharaan.. tetapi akhirnya selalu sama. Orang yang malang itu ditinggalkan dan berakhir menjadi pesakitan yang menyedihkan.

Hono ingin mendekapnya, memeluknya. Karena begitu banyak ragamnya kesedihan, Hono ingin memberinya kehangatan, Ingin mendukung dan menyemangatinya, bahwa suatu saat Ia akan bahagia.

Ia pantas untuk bahagia.

Setelah bangun, aku cuma bisa terisak di atas kasur ruang kesehatan, mendengar suara-suara masa muda yang penuh gairah. Sementara di ruangan ini, hanya ada detik jam dan angin yang melambaikan tirai putih penyekat tempat-tempat tidur.

Padahal, mimpi itu bukan tentang Hono, tetapi cukup untuk membuatku terisak-isak, enggan berhenti karena merasa hal tersebut memang pantas ditangisi.

“Tamura-san?”

Seseorang memanggil nama Hono, terdengar kemudian tirai penyekat kasur digeser dan tampak wajah anggun Sugai sensei, wali kelas kami, tampak khawatir dan lebih lembut dari biasanya.

“Sugai sensei..”

Ia buru-buru mendekat dan membantu Hono menopang tubuh sendiri, Sugai sensei menyadari mata sembab dan nafas yang teratur Hono. Dengan penuh perhatian, Sensei mengelus pundakku lembut dan memintaku berbaring kembali.

“Aku dengar Tamura-san pingsan siang tadi, Takemoto-san meminta maaf karena tidak bisa menungguimu lebih lama. Mendadak, Ia ditelpon oleh orang rumahnya, sepertinya ada urusan mendadak..”

“Tidak apa sensei, Yui-chan sudah sangat baik menopang Hono ke sini. Saya bisa pulang sendiri..” ucapku sambil menggosok mata dan hidungku.

“Tidak, Tamura-san. Sensei sudah memanggil orang tua Tamura-san untuk menjemput. Ibumu akan segera datang.” Rasanya aku ingin protes, Sensei tidak tahu betapa ini merepotkan orang tuaku, terutama Mama. Awalnya, Hono tidak ingin memberitahu Mama atau Papa tentang ini, tapi kalau sudah begini mau bagaimana lagi.

Sebenarnya, Hono agak merasa tenang mengetahui Mama akan datang menjemput ke sini.

Wajah Sugai-sensei masih terlihat khawatir, jari-jari panjang dan harum khas wanita dewasanya memijit-mijit telapak tanganku dengan lembut. Wangi parfumnya segar, menggantikan wangi obat-obatan yang tidak pernah begitu aku sukai.

“Boleh ceritakan sedikit, tidak, Tamura-san? Sebelum pingsan, apa yang terasa oleh Tamura-san?”

Aku mengadah, mencoba mengingat sesuatu yang sepertinya sejak pagi sudah menjadi permasalahanku. Beberapa menit lamanya, berusaha mengingat nama dari perasaan itu.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jul 22, 2023 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

[Sakurazaka46] Summerbell, Dancing In Your PalmWhere stories live. Discover now