11. Tiba-tiba Gembel

179 20 0
                                    

Semalaman Vanka ditemani sahabatnya Jeni di rumah kecil di atas restoran. Namun, di pagi yang bahkan matahari belum terlihat, Jeni berpamitan untuk pulang dan membahas masalah ini dengan Rafka.

Menurut Vanka, Jeni terlalu percaya diri untuk mengandalkan si pengangguran itu. Dilihat dari manapun, tak akan ada solusi yang tepat dari Rafka.

Vanka punya firasat buruk tentang ini. Namun tak masalah, selama mereka tidak mengandalkan orang tua dalam masalah rumah tangga Vanka.

Takut jika mamanya tahu soal ini dan malah menyudutkan Vanka,  bukan memarahi Yasa. Yang mau nikah, kan, Vanka.

Satu-satunya jalan agar tak terus terpuruk seperti ini, Vanka harus keluar dari restoran. Ia meyakinkan dirinya seyakin-yakinnya, bahwa suami seperti Yasa tak bisa dikasih harapan lebih. Yang ada, malah ngelunjak.

Vanka menarik kopernya, siap keluar dari tempat tersebut. Satu-satunya tujuan yang bisa dituju adalah kosan Jeni. Di sana, ia bisa menginap sambil mencari kerja.

Isi kepala Vanka sudah berangan-angan di mana Yasa datang untuk mengunjunginya, lalu saat sadar Vanka tak ada, Yasa akan mencari ke seluruh penjuru ibu kota.

Yang paling Vanka yakini adalah, Yasa akan meminta maaf sedalam-dalamnya akan hal ini. Hah. Khayalan dan kenyataan tak jauh beda kalau ada bumbu bucin di dalamnya.

Sampai di depan kos Jeni, Vanka menarik kopernya masuk gerbang. Di sana, ada Jeni yang juga baru keluar dari kamarnya sambil menarik koper dan barang-barang lain.

"Loh, lo mau pindahan?" tanya Vanka yang sedikit terkejut.

Jeni mengangguk. Sungguh kebetulan sekali bukan? Jeni pasti sedang mencari kos yang muat untuk dua orang. Sahabatnya yang satu ini pengertiannya luar biasa.

"Lo udah siap?" Jeni balik bertanya.

Vanka mengangguk. "Gue siap kapan aja, asal itu bareng lo."

Sahabat yang paling setia di saat suka maupun duka. Bahkan, saat Vanka telah menikah pun, Jeni tetap menjadi orang pertama yang harus tahu masalah di dalam rumah tangganya. Sepercaya itu Vanka pada Jeni, yang sudah menjadi sahabatnya sejak di bangku SMA.

"Rafka pasti udah nungguin," kata Jeni, lalu menggandeng Vanka keluar.

"Kita bakal tinggal bareng Rafka?"

Jeni menggeleng. "Bukan kita, tapi gue aja. Gue dan Rafka."

"Hah?" Kaget? Tentu saja. Lalu, Vanka akan ke mana? "Terus gue? Jangan bilang balik ke rooftop."

Lagi, lawan bicaranya menggeleng. "Lo bakal balik ke rumah kakak lo."

Mata Vanka membulat sempurna. Apa yang dipikirkan sahabatnya ini? Kedatangan Vanka ke tempat Jeni karena ia tak mau satu pun keluarganya tahu soal masalah rumah tangganya. Terlebih, Vanka sedang perang dingin dengan kakak iparnya.

Jika Vanka mengikuti ide Jeni, yang ada Vanka kalah dan lebih ke tebal muka.

"Apa yang bikin lo sampai punya ide segila ini?" tanya Vanka tegas.

Jeni menghela napas. "Lo lupain soal sikap kakak ipar lo, dia kayak gitu karna ulah Rafka, bukan?"

"Ya, emang. Lo udah tahu, tuh anak pembawa sial di hidup gue."

"Rafka dan gue udah patungan buat bayar kerugian kakak ipar lo, maksudnya harga tasnya. Yah, meskipun belum lu—"

"Lo gila?" Vanka kesal bukan main. Sepolos itu pikiran Jeni? "Gue mana bisa balik ke sana lagi, Jen ...."

"Bisa, kok, gue dan Rafka udah bayar tasnya."

Vanka berjongkok, lalu mengacak rambut frustrasi. "Bukan tentang tas, Jen."

"Terus?"

"Ya, lo pikir aja, masa gue yang udah diusir dengan cara tidak terhormat, dan sekarang gue juga udah nikah. Balik ke rumah kakak gue, yang ada malah diketawain sama kakak ipar gue." Vanka menghela napas kasar. "Harga diri gue mau ditaruh di mana?"

Sebuah bayangan berhenti di dekat mereka. "Hari gini masih mikirin harga diri, yang penting punya tempat tinggal."

"Diam lo, Anjir!" bentak Vanka pada lelaki yang berdiri di sampingnya, siapa lagi jika bukan Rafka.

"Gue udah gadai motor gue buat bayar utang ke kakak ipar lo. Jeni juga udah make tabungannya buat patungan," jelas Rafka.

Vanka meringis padahal tidak sakit sama sekali. "Lo mau aja dibegoin, nih, orang."

"Dibegoin gimana? Gue ama Jeni lakuin ini buat lo." Rafka tak terima dengan tuduhan Vanka.

"Harusnya kalian diskusi ke gue dulu!"

Jeni dan Rafka saling bertatapan, lalu kembali melihat ke arah Vanka.

Jeni berjongkok di depan Vanka. "Udah telanjur. Mau, ya, ke rumah kakak lo. Kasian kalau lo tinggal di rooftop gitu."

Vanka menggeleng keras. "Kalau gue ke sana pun, terus lo berdua ke mana?"

"Ya, ke tempat tinggal gue," ucap Rafka.

"Hah?" Vanka seketika menoleh pada Rafka, lalu kembali ke Jeni. "Kenapa gitu?" Jeni mau tinggal seatap di tempat Rafka? Wah, bahaya ini.

"Ya, biar hemat aja. Lagian kuliah gue bentar lagi, kok, selesai."

Ini yang sungguh brilian dari Jeni, hingga membuat Vanka mengangguk kagum. Namun, di detik berikutnya, ia sungguh gemas hingga menjitak kepala sang sahabat.

Vanka menarik kata-katanya tadi yang menyatakan "siap kapan saja asal itu bersama Jeni". Kali ini ia ragu, benar-benar ragu hingga membuatnya ingin menangis selama seminggu lamanya.

Dering ponsel terdengar dari dalam tasnya, Vanka segera menarik benda tersebut keluar dari sana. Nama sang suami tertera di layar, membuat Vanka tanpa pikir panjang menolak panggilan itu.

"Ya udah, gue ikut kalian," tegas Vanka, ia hanya tak ingin kembali ke rumah kakaknya. "Setuju?"

Jeni dan Rafka menggeleng, membuat Vanka memasang wajah tak terima. "Kenapa?"

"Karna gue cuma numpang di apartemen sepupu gue," jelas Rafka.

"Lah, gue bisa ikutan, dong. Lagian kalau kamarnya ada dua, gue bisa sekamar bareng Jeni, terus lo bareng kakak lo."

Rafka menggeleng lagi. "Kakak sepupu gue cewek, Bun."

Vanka ditampar kenyataan yang benar-benar pahit. Jelas saja jika ia tak bisa ikut mereka.

"Lo relain kamar lo buat gue." Ide Vanka yang cukup brilian. "Lo bisa tidur di luar, 'kan?"

Jelas saja Rafka menolak ide gila itu, ia juga ingin merasakan empuknya kasur, bukan karpet bulu. "Jangan macam-macam, gue cuma numpang. Kerja aja gue nggak punya."

Emosi Vanka memuncak, hingga membuatnya kembali menarik ponsel dari dalam tas, yang sejak tadi berisik minta ampun, menganggu diskusi mereka.

"Lo kenapa, sih?" kesalnya pada si penelepon. "Ganggu tahu, nggak?"

"Kamu di mana?" tanya Yasa santai.

"Di rumah duda kaya raya!"

Terdengar suara kekehan dari seberang. Suami gila. "Mana dudanya, biar aku ngomong ke dia."

"Bodoh!"

Vanka tanpa pikir panjang melempar ponselnya pada Rafka. "Laki gue mau ngomong."

"Gila lo? Gue bukan duda, masih bujang nih."

"Udah, ngomong aja," desak Jeni, yang ikut skenario Vanka, karena ia tak mau Vanka kembali tinggal di rooftop.

Rafka pasrah, mengikuti alur cerita yang disusun dua sahabatnya tersebut. "Halo, ini gue, duda simpanannya Vanka. Kalau lo mau bawa Vanka, paling tidak kasih gue kerjaan yang bener, dah, bukan malah akting garing kayak gini, njir."

Tangan Vanka dan Jeni cepat memukul tubuh Rafka. Dasar setan!

________
22.07.23

Agak garing sih, tapi yaudah. Hahaha 😀

Di Luar Nurul, Nggak Habis Fikri 21+Unde poveștirile trăiesc. Descoperă acum