1. Tas

569 41 2
                                    

Remang di tempat ia memarkir mobil sambil menunggu sahabatnya datang untuk mengembalikan benda yang dipinjam.

Kurang baik apa Vanka pada sahabatnya yang selalu membuat kepalanya pusing. Rafka datang ke Jakarta karena menyusul Vanka yang sudah sejak zaman kuliah berada di ibu kota ini.

Vanka baru tahu apa pekerjaan si cowok gila itu. Ya, menggait hati cewek-cewek berdompet tebal, dengan mengaku sebagai anak konglomerat.

Sekarang, Vanka merasa dirinya kotor karena membantu sekte Rafka dengan cara meminjamkan tas mahal milik sang kakak ipar, demi meyakinkan bahwa Rafka benar-benar anak orang kaya.

Sudah seminggu tas itu dipinjam Rafka, membuat Vanka harus sedikit bersabar menunggu dikembalikan. Katanya, masih dipinjam pacar yang entah pacar Rafka nomor ke berapa.

Lampu motor ninja mendekat ke arah mobil yang dikendarai Vanka. Ia membuka kaca mobil demi melihat kedatangan sahabatnya tersebut.

"Mana?" tagih Vanka, Rafka segera mengembalikan apa yang dipinjam. "Jangan minjam kalau nggak bisa balikin tepat waktu."

Berdecak, Rafka tak terima diceramahi. "Kalau gue punya, nggak bakal gue minjam."

"Beli makanya."

"Ya, duitnya nggak ada!" Rafka nyolot.

"Kerja, Bego! Bukannya ngeluh," tambah Vanka.

Rafka menghela napas. "Di kantor kakak ipar lo aja gue ditolak."

"Emang, kantor di Jakarta cuma punya kakak ipar gue doang?"

"Ya, gue jadi nggak PD. Di kantor kakak lo aja, yang notabene gue punya orang dalam nggak bisa masuk."

"Emang siapa orang dalam lo?" tanya Vanka penasaran.

Rafka menunjuk Vanka. "Lo, siapa lagi?"

"Gue? Orang dalam lo? Hah." Vanka terkekeh. "Mimpi. Ngapain juga gue ngurusin lo yang udah gede, capek gue sejak kecil ketemu lo mulu. Udah cukup kita tetanggaan di Bandung, dari masih bayi, SD, SMP, SMA. Jangan sampai pas kerja juga. Gue capek liat tingkah lo."

Rafka hanya bisa telan ludah dengan ocehan Vanka. "Kalau lo kasih gue kerja, gue pasti nggak bakal ngerepotin lo."

Vanka menggeleng, lalu meletakkan satu jari di depan bibir. "Cukup, ya, udah. Jangan banyak bacot." Ia menutup jendela mobilnya, tetapi tertahan karena Rafka mengetuk kaca. "Apa lagi, sih?" Vanka benar-benar ingin cepat pulang.

Telapak tangan Rafka masuk ke dalam kaca mobil. "Bagi duit buat bensin."

Vanka dibuat melongo. "Rafkaaaaaaa!" teriaknya kesal tak tertahankan.

_________

Dengan emosi yang masih terkumpul di kepala, Vanka melangkah ke dalam rumah kakaknya. Di ruang keluarga, ia mampir duduk di samping sang kakak ipar yang sedang mengurus keponakannya, lalu meletakkan tas tersebut ke sofa.

Vanka menarik botol minum milik keponakannya, lalu meneguk air demi menetralkan emosinya.

"Kenapa? Rafka buat ulah lagi?" tanya Sashi, kakak iparnya.

Mengangguk, Vanka tak bisa menjawab dengan kata-kata.

Sashi tertawa kecil, keadaan Vanka benar-benar kacau. "Bilangin ke dia, masukin lamarannya lagi. Kali ini Kakak bakal terima."

Vanka langsung melirik, lalu menggeleng. "Nggak, Kak. Ini nggak boleh."

"Yah, daripada kamu dibikin stres mulu tiap ketemu dia."

Berdiri dari duduk, lebih baik Vanka segera masuk kamar. "Kakak jangan terlalu baik."

Vanka anak bungsu dari empat bersaudara, dan ia satu-satunya anak perempuan di keluarganya.

Di Luar Nurul, Nggak Habis Fikri 21+Tahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon