Aku pun tersenyum melihat tingkah kedua sahabatku. "Ada apa, Dan?" tegur Ustad Walid.

"Gak ada apa-apa, Pak Ustad," balasku.

"Kamu kalau mau nanya sesuatu atau butuh bantuan bisa hubungin bapak. Insya Allah bapak bisa bantu," ucapnya.

"Saya belum punya nomor Pak Ustad sama Kyai Ali."

"Oh iya. 08 ...."

"Bentar, Pak Ustad," potongku. "Bim, simpen nomor Pak Ustad." Aku meminta Bimo menyimpan nomor Ustad Walid dan Kyai Ali, karena tidak membawa ponsel.

Ustad Walid pun mulai mengeja nomor teleponnya satu persatu. "Bapak minta maaf kalau selama kalian di sini ada kata-kata yang salah," ucapnya.

"Harusnya kami yang minta maaf. Udah ngerepotin Pak Ustad. Apalagi saya, yang paling banyak nyusahin." Aku sadar diri.

"Banyak pelajaran yang bisa diambil dari kejadian kemaren. Jadikan pelajaran itu sebagai pengingat kalian untuk tetap berada di jalan yang Allah ridoi," pesannya.

"Iya, Pak Ustad," sahut kami, kompak.

Kami pun izin kembali ke Asrama, untuk merapikan barang bawaan. Setelah rapi, semuanya berkumpul di kamarku.

"Pasti bakal kangen banget sama pesantren ini," ucap Handeka.

"Iya, apalagi makanannya. Beuh, enak banget!" sahut Agus.

"Gus, Gus, malah bahas makanan."

"Tapi emang bener kok enak." Aku setuju dengan ucapan Agus.

"Nah kan! Bener kata gua," sahut Agus.

"Gimana kalau nanti kita bikin acara buka bersama di sini?" usul Bimo.

"Wah boleh banget tuh," balasku.

"Ajak Reno sama Fahmi juga," ucap Fikri.

"Iya, kasian mereka cuman nongkrong berdua," sahut Agus.

"Acaranya kalau bisa jangan menjelang akhir puasa, soalnya di sini pasti udah sepi," ucap Handeka.

"Siap dua minggu lagi lah. Gimana? Biar sekalian ajakin anak kelas laen juga, biar rame," sahutku.

"Emang anak laen mau gabung sama kita? Ntar dikira ngajak tawuran," timpal Guntur.

"Ya, kita perbaiki nama baik dulu. Baru ngajak mereka," ucapku.

"Atau minta bantuan sama Pak Dimas, pasti pada mau ikut," usul Bimo.

"Cerdas saudara Bimo!" sahut Handeka.

Kami lanjut mengobrol sampai pukul delapan pagi. Semua barang bawaan dikumpulkan di kamarku. Kemudian, kami berkeliling asrama untuk meminta maaf pada santri lain. Khawatirnya ada perbuatan atau perkataan kami yang menyakiti hati mereka.

Selanjutnya kami berpamitan dengan para pengurus asrama. Terutama pada bagian dapur, karena telah menyuguhkan masakan yang enak.

"Dah, kan?" tanyaku.

"Udah," balas Bimo.

Kami kembali ke kamar, untuk mengambil tas. Kemudian menunggu taksi online pesanan di masjid.

"Sebentar lagi nyampe," ucap Bimo sambil menatap ponselnya.

"Oke!" Kami bangkit dan berjalan ke pintu gerbang. Tak lama, ada mobil merah menghampiri. Bergegas kami naik ke mobil.

"Lu kagak hubungin nyokap lu, Dan?" tanya Bimo.

"Nyokap pasti tau, gua pulang hari ini," balasku.

Perjalanan pagi ini bisa dibilang cukup lancar. Hanya butuh waktu kurang dari satu jam, aku sudah tiba di gang rumah.

"Kabarin gua ya kalau ada apa-apa!" ucap Bimo.

"Oke!" sahutku, lalu berjalan masuk ke gang. Aku sudah sangat siap menghadapi omelan ibu.

Sesampainya di rumah, terlihat pintu tertutup rapat. Kucoba mengetuk pintu dan memanggil ibu, tapi tak ada jawaban. Apa mungkin ibu sedang pergi ke pasar?

"Ai!" panggil Bu Sari, tetangga depan.

Aku menoleh, "Ya, Bu?"

"Ya Allah, kemana aja?"

"Abis pesantren kilat, Bu."

"Pak RT kemaren nyoba hubungin kamu tapi gak bisa. Emang hanphonenya ke mana?"

Aku mengambil ponsel di dalam tas, "Ada, Bu. Tapi emang sengaja saya matiin."

"Ya ampun, Ai! Kenapa gak dinyalain handphone-nya?"

"Sebenernya ada apa sih, Bu?" tanyaku, bingung.

"Ibu kamu masuk rumah sakit dari tiga hari lalu," balasnya.

"Rumah sakit mana?" Aku benar-benar terkejut mendengarnya.

"Rumah Sakit Islam."

"Makasih, Bu." Bergegas aku pergi ke rumah sakit. Sepanjang perjalanan ke sana, berdoa dalam hati, semoga ibu baik-baik saja.

Angkutan umum berhenti tepat di depan rumah sakit. Dengan langkah cepat, aku berjalan menuju meja resepsionis. "Permisi, Mbak. Saya mau nanya apa ada nama pasien Lela Nurlela?" tanyaku.

"Sebentar, ya." Resepsionis menatap layar komputer di hadapannya. "Ada di ruang Kamboja nomor lima," ucapnya.

"Lewat mana, ya?" Aku baru pertama kali datang ke sini.

"Lewatin koridor sana." Ia menunjuk koridor yang berada di kanan. "Lurus terus sampe ketemu taman. Nanti belok kanan dikit," jelasnya.

"Makasih, Mbak." Aku bergegas pergi ke ruang perawatan ibu. Sesampainya di sana, ibu masih terlihat tidur dengan selang infus menempel di tangannya.

Aku berdiri di samping brankar, sambil menatap wajah ibu yang terlihat lebam. Bahkan lebamnya ada juga di bagian kaki dan tangan. Apa yang terjadi padanya?

Ibu membuka mata, "Bu," ucapku.

Ia menoleh dan menatapku sinis, "Mau apa kamu ke sini?" ucapnya.

Sepertinya ia benar-benar marah padaku, "Aku kan anak ibu."

"Ibu gak punya anak macam kamu!"

"Astaghfirullah." Aku tak menyangka ibu bisa berkata seperti itu.

"Gak usah sok islami gitu! Baru seminggu pesantren doang."

"Aku cuman kaget kok ibu tega bilang gitu."

"Kamu yang tega sama ibu, Ai. Liat gara-gara kamu ibu jadi kaya gini!" ucapnya dengan suara tinggi.

"Salah sendiri ibu bikin aku lumpuh."

"Harusnya kalau udah tau begitu. Kamu pulang! Malah dateng ke Kyai."

"Aku ampir mati juga kemaren. Apa ibu tau?"

"Itu salah kamu sendiri malah nantang."

Aku menarik napas panjang, agar sabar menghadapinya. "Berarti sama-sama salah dong?"

"Kamu yang salah, Ai. Udah dibilang jangan pergi malah maksa. Dah ah, ibu males liat muka kamu. Dasar anak durhaka."

Deg!

Dada ini sakit saat mendengar perkataannya itu. Tanpa berkata-kata, aku membalikan badan dan pergi ke luar.

BERSAMBUNG

IBUKU DUKUNWhere stories live. Discover now