bab 6. Pernikahan Revan dan Celine

Mulai dari awal
                                    

"Tentu saja pernikahan kami akan abadi. Karena aku tidak akan pernah membiarkan pelakor masuk ke dalam rumah tangga kami," balas Celine sambil menatap Almira penuh permusuhan.

Sedangkan Revan ekspresinya begitu dingin. Dia tidak menampilkan sama sekali ruaut wajah bahagia. Bagaimana bisa dia bahagia menikah dengan orang yang  tidak ia cintai.

"Kalau begitu, saya pulang dulu." Almira tidak mau berlama-lama berada di pesta pernikahan Revan dan juga Celine.

"Almira andai aja kamu mau menikah denganku. Mungkin saat ini aku tidak akan berdiri di pelaminan bersama dengan Celine. Meskipun aku juga tidak mencintaimu, tapi setidaknya aku memiliki alasan untuk menikahimu yaitu anak yang ada di dalam perutmu. Namun semuanya terlambat, sekarang aku sudah menikah dengan Celine dan mau tidak mau aku harus menerimanya. Tapi meskipun begitu, aku akan tetap mencari dalang dibalik semua kematian Tiffany," batin Revan, tatapan matanya menatap punggung Almira yang pergi menjauh setelah mengucapkan selamat untuknya.

"Tante aku sudah mengucapkan selamat kepada Mas Revan dan juga istrinya, saya ingin pulang."

"Kamu pulang aja duluan, kami akan pulang nanti setelah acara ini selesai."

"Baiklah kalau begitu, saya akan pulang naik taksi."

"Biar saya antar, " ucap Pak Wijaya menawarkan diri dan hal itu mendapat tatapan tajam dari istrinya.

"Maksudnya apa? Papa ingin mengantarkan Almira pulang."

"Mama jangan salah paham dulu, Papa berniat baik mengantarkan Almira pulang. Walau bagaimanapun. Almira saat ini sedang mengandung cucu kita. Papa tidak ingin terjadi sesuatu pada karena pulang sendirian malam-malam begini." Pak Wijaya memberi alasan. Padahal dirinya ingin mendekati Almira.

"Itu cuma alasan Papa aja. Udah Almira biarkan dia pulang sendiri." Tina menatap Almira dengan tatapan penuh tidak suka.

"Sudah Om Tante jangan berdebat. Saya bisa pulang sendiri kok." Almira menampilkan senyum tipisnya. Ia tidak ingin membuat pasangan paruh baya itu bertengkar karena dirinya.

Almira pun berjalan meninggalkan pesta untuk pulang. Pada saat Almira akan keluar dari gedung acara pernikahan Revan dan juga Celine, ia tidak sengaja bertubrukan dengan seseorang yang hampir saja membuat Almira terjatuh andai saja laki-laki yang menubruk Almira tidak menahan tubuhnya.

"Sorry."

"Tidak apa-apa." Jantung Almira berdetak kencang. Ia begitu ketakutan ketika membayangkan dirinya terjatuh dan terjadi sesuatu pada kandungannya. Akan jadi seperti apa nasibnya nanti.

"Kamu baik-baik saja kan?" tanya laki-laki ketika melihat ekspresi wajah Almira yang terlibat ketakutan.

"Tidak apa-apa, saya baik-baik saja."

"Syukurlah kalau begitu, saya minta maaf karena tidak sengaja menabrak kamu."

"Tidak apa-apa. Kalau begitu saya permisi."

"Tunggu!" Laki-laki yang memiliki postur tubuh yang hampir sama dengan Revan itu menahan tangan Almira yang akan pergi.

"Iya."

"Perkenalkan namaku Dewa. Kalau boleh tahu namu kamu siapa?" tanya Dewa. Tatapan matanya menunjukkan bahwa ia tertarik untuk berkenalan dengan Almira.

"Lain kali aja, kalau kita bertemu lagi," jawab Almira. Lalu ia mencoba melepaskan tangan Dewa yang menahan tangannya dan memilih untuk segera pulang.

"Kau sangat menarik dan membuat aku penasaran," gumam Dewa. Ia pun memutuskan untuk masuk ke dalam gedung. Ia berharap tidak terlambat menghadiri acara pesta pernikahan adiknya.

***

Beberapa menit yang lalu acara pesta sudah selesai akan tetapi Revan sama sekali tidak menikmati acara tersebut karena menurutnya ini bukan acara pernikahan keinginannya.

"Revan, aku sudah siap jadi milik kamu seutuhnya." Celine keluar dari kamar mandi dengan pakaian yang sangat menggoda. Akan tetapi Revan yang melihat itu bukannya tergoda malah merasa risih.

"Revan," panggil Celine dengan suara mendayu-dayu berharap hanya dengan suaranya saja Revan terangsang.

Namun, bukannya terangsang. Revan malah membalikkan badannya dan meninggalkan kamar pengantin. Celine yang melihat itu berusaha untuk mencegah Revan.

"Revan kamu mau ke mana?" tanya Celine. Ia mengejar Revan dan menahan tangannya.

"Lepas!"

"Revan..."

"Aku bilang lepas, ya lepas! Kamu dengar gak sih!" sentak Revan.

"Revan, kamu ini kenapa sih. Ini itu malam pertama kita. Tapi kenal kamu malah mau pergi ninggalin aku, tega ya kamu."

Revan menghembuskan nafasnya kasar dan menatap Celine tajam.

"Dengar ini, Celine. Aku sama sekali tidak pernah berpikir untuk menikah dengan kamu. Karena aku tidak pernah mencintai kamu paham."

"Enggak, aku gak peduli meskinya kamu gak cinta sama aku. Karena tidak terpenting bagi aku itu ya kamu jadi suami aku."

Revan tertawa hambar. "Apa jadinya rumah tangga tanpa cinta, Celine."

"Revan..." Celine berusaha untuk tetap menahan Revan untuk tidak pergi.

"Aku harus pergi."

"Kamu mau ke mana?" tanya Celine.

"Itu bukan urusan kami."

"Tapi Revan," rengek Celine. "Aku tidak mau kamu pergi, ini adalah malam pertama kita."

"Aku sudah bilang aku gak cinta sama kamu dan jangan berharap ada malam pertama di antara pernikahan kita. Asal kamu tahu aku masih cinta sama Tiffany."

Celine mengepalkan tangannya erat, matanya memerah menahan tangan. "Riff, Tiffany terus  di otak kamu cuma ada Tiffany. Kamu pergi gak sih ngeliat aku sedikit aja. Coba berhenti untuk mengingat Tiffany. Tiffany udah meninggal."

"Meskipun Tiffany sudah meninggal, tapi di dalam hatiku, Tiffany akan tetap hidup."

Revan dengan sedikit kasar menghempaskan tangan Celine dan pergi meninggalkan kamar hotel.

Celine yang melihat itu pun berteriak kencang dan melempar bantal dan selimut yang sudah di tata dengan rapih.

"Sialan, kau Tiffany. Saat kau sudah mati pun kau tetap menjadi penghalang hubunganku dengan Revan!" maki Celine.

"Argghhh!" teriak Celine.

**

Malam ini Wijaya tidak bisa tidur, ia terus saja memikirkan Almira. Sesekali ia menoleh ke arah sang istri.

"Tina sudah tua, dia tidak menggairahkan lagi, tidak seperti Almira yang masih muda dan cantik. Aku yakin, jika waktu itu Tina tidak datang. Mungkin saat ini aku sudah bisa menikmati tubuh indah milik Almira," batin Wijaya.

Ia pun memutuskan untuk bangun dari tidurnya secara perlahan, ia berharap Tina bangun. Malam ini, dia akan menemui Almira, Wijaya akan membuat sebuah kesepakatan dengan Almira. Dia yakin dengan harta yang akan di tawarkannya pada Almira dapat memikatnya dan bersedia menjadi sugar babynya.

Namun baru saja Wijaya mengambil jaketnya suara Tina yang mengigau membuat Wijaya mengurungkan niatnya untuk pergi.

**

"Sedang apa kau di sini?" tanya Almira ketika melihat keberadaan Revan yang ada di depan apartemennya pagi-pagi.

"Bisa kita bicara."

Almira tidak lupa jika semalam laki-laki yang ada dihadapannya ini sudah menikah semalam otomatis laki-laki di hadapannya ini suami orang.

"Bisa, tapi kita bicara bersama dengan istrimu juga. Aku tidak mau menimbulkan kesalahpahaman antara aku dan juga kamu. Di mata istri kamu."

"Kita tidak perlu melibatkannya karena ini tidak ada urusannya dengan dia."

"Kalau begitu kita tidak perlu bicara."

"Almira!"

Rahim sewaanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang