16. Tinggal Kenangan

42 6 1
                                    

Hari ini adalah hari terakhir Ujian Akhir Sekolah setelah seminggu berjalan. Ujian yang akan menentukan lulus atau tidaknya seorang siswa setelah tiga tahun mereka menempuh pendidikan.

Jam masih menunjukkan pukul setengah tujuh. Tak seperti biasanya, sekolah terlihat sepi dan hanya segelintir siswa yang datang. Itu di karenakan siswa kelas 11 dan 10 di liburkan dan hanya kelas 12 yang masuk untuk ujian. Hal itu di lakukan agar siswa kelas 12 dapat fokus menjalankan ujian.

Segerombolan motor besar mulai memasuki pelataran sekolah yang mampu menimbulkan kebisingan disana. Seketika parkiran sekolah penuh dengan motor-motor besar.

Sekelompok pemuda berseragam itu turun dari motor mereka masing-masing. Kemudian mereka berjalan beriringan menuju kelas.

"Woe cong, tungguin gue!" teriak Farhan yang berlari menghampiri Farel yang sedang berjalan dengan Barra, Anva dan Gevan.

"Cong- or lo bisa di jaga nggak? Gue sumpahin bisulan gede lo!" ujar Farel kesal karena semenjak kejadian delirium waktu itu, teman-temannya terus mengejeknya. Bahkan video dirinya waktu itu sudah di sebar kemana-mana. Teman yang sangat baik bukan?

"Luka lo gimana, cong?" tanya Barra sengaja memancing Farel dengan senyum tipisnya.

Farel yang mendengar itu berusaha menahan emosinya. Ia tersenyum lebar sembari memperlihatkan giginya, "Baik kok, Bar. Thanks."

"Kenapa sama Barra lo malah ngalus? Pilih kasih!" celetuk Farhan tak terima.

"Nah, kalau sama kunci jawaban mah harus ngalus. Ya nggak Bar?" ujar Farel sembari menaik turunkan alisnya.

"Yee ada maunya." celetuk Farhan.

"Kaya lo nggak aja." sindir Anva pada Farhan dengan santai. Memang biasanya Farhan ikut menyontek Barra dan Anva saat ujian. Karena sebagian kelas IPA 1 dan IPA 3 berada di satu ruangan.

Farhan menyengir manis mendengar ucapan Anva, "Hehe, kan sekawan Va."

"Kin sikiwin Vi." ucap Farel mengejek.

"Baru kali ini gue merasa terdeskriminasi di antara anak IPA. Gua kesusahan sendiri njir!" keluh Gevan yang merasa menjadi anak IPS sendirian.

"Sabar ya Pan, lo sendiri kok." ujar Farel dengan nada yang di buat-buat sembari menepuk-nepuk pundak Gevan menyemangati.

"Diem lo cong!" balas Gevan kesal.

"Ntar malem jadi kan?" tanya Anva tiba-tiba bersuara.

"Oh ya harus. Lo gimana Bar?" tanya Farhan memastikan.

"Ngikut aja." jawab Barra singkat.

"Oke, kumpul di rumah Anva."

Anva yang merasa namanya di sebut pun menatap sinis ke arah Farhan. "Kenapa gue?" tanya Anva tak terima.

"Si Farel kan dandannya lama tuh, nah kita bisa nunggu di rumah lo." jawab Farhan enteng.

"Yeu si kadal. Bilang aja lo mau modusin adiknya Anva kan?" tebak Farel tepat sasaran.

"Kagak, itu mah lo!" Farhan mengelak.

"Sama aja lo berdua." ujar Gevan.

"Lo juga ya, Pan!" seru Farel dan Farhan bersamaan. Sedangkan kakak sang korban yaitu Anva, langsung rolling eyes menanggapi ketidakjelasan mereka.

Kelima pemuda itu melewati ruangan ujian 6 yang terisi oleh sebagian kelas IPA 3. Langkah kaki Barra terhenti di depan kelas itu kala melihat seseorang.

Di dalam kelas itu sudah ramai dengan siswa-siswa kelas itu, termasuk Naya dan Amel. Namun Amel berbeda ruangan dengan mereka. Ia berada di ruang ujian 5. Satu ruangan dengan Barra dan lainnya. Setiap pagi Amel selalu ke kelas Naya untuk berbincang sebentar sebelum bel masuk.

Hafidz Al-GhazaliWhere stories live. Discover now