Jefri tertawa renyah. Apa yang terlihat lucu? Tidak ada sama sekali. Dia bisa mendengar dengan melebarkan telinga dan menajamkan pendengarannya. Aneh, berada di dekatnya selalu membuat kami bertengkar. Pertengkaran yang selalu membuat diriku kesal karena tingkah lakunya yang diambang batas ketidakwajaran.

"Jangan pedulikan aku, kembali saja berbicara."

Aku berkata jujur bahwasanya aku sangat membenci apa yang sudah terjadi. Apa yang aku alami sangat membuat diriku muak. "Aku benci dengan semua ini."

"Kamu membenciku, hum?"

Tubuhku beringsut mundur tatkala dia memajukan wajahnya. Ini yang aku takutkan. Serangannya yang sangat mendadak sehingga aku tidak bisa berantisipasi.

"Menyingkir," pintaku dengan tatapan tak suka. Jarak wajahnya denganku bahkan hanya sejengkal.

"Hey, benarkah kamu membenci Ayah dari anak-anakmu?" tanyanya dengan tegas. Tangannya tak tinggal diam. Jefri mengusap perutku dengan tidak beraturan hingga tendangan itu sukses membuat matanya melotot.

"Al, mereka menendang?" tanyanya dengan wajah sumringah. Di dekatkannya telinganya ke arah perutku. "Hai, anak-anak Ayah. Kalian merindukan Ayah ya? Coba tendang sekali lagi. Setelah kalian keluar dari perut Bunda. Ayo kita bermain. Ayah akan mengajari kalian bermain bola, basket, dan tenis."

Tidak bisa dipungkiri hatiku mulai melemah. Ya, aku memang ibu hamil yang memiliki tingkat kelabilan diatas rata-rata.

Wajahnya menengadah menatap manik mataku dalam. "Mereka menendangku lagi, Al," adunya dengan mata berkaca-kaca. "Rasanya seperti ini ya, aku sudah tidak sabar menunggu kehadiran mereka di tengah-tengah kita sayang. Aku akan memikirkan nama yang bagus untuk mereka. Apa kamu sudah memilih nama yang bagus untuk mereka?"

"Alana, kamu mendengarkanku kan?"

"Apa kamu sangat merindukan wajah tampanku, hum? Aku berbicara denganmu, sayang."

"Hah?" Kujauhkan tangannya yang telah mengusap pipi kiriku. Aku menunduk membuat dirinya tertawa.

"Aku tahu apa yang sedang kamu pikirkan, sayang," ujarnya menggoda.

Dia kembali mendekatkan wajahnya. Mengecup bibirku pelan, hanya sepersekian detik. Setelahnya dia berucap tepat di telinga kananku. "Aku harus pergi sekarang dan jangan pernah berpikir untuk keluar dari rumah ini. Kalau perlu sesuatu kamu bisa menghubungiku atau memberitahu Lilian."

"Alana, ingat, jangan mencoba kabur lagi dariku karena akibatnya akan fatal. Aku sudah menambah penjaga di luar. Tahu apa artinya kan? Kamu tidak akan pernah bisa kabur lagi dariku."

"Satu lagi—" Dia menjeda kalimatnya membuat diri ini menahan napas.

Dengan tak tahu dirinya tangan nakalnya bergerak untuk menyentuh kedua bukit kembarku. "Aku juga merindukan ini."

Jefri, sialan!

"Jangan lupa habiskan susunya!" teriaknya setelah di ambang pintu.

Pria itu benar-benar mesum.




***




Jam menunjukkan pukul tujuh malam. Aku terbangun dari tidur karena merasakan panas. Suasana yang gelap membuat diriku meraih ponsel dan berjalan ke arah saklar lampu.

Tidak bisa menyala?

Apakah rusak?

"Bu.... Bu Lilian..." panggilku dengan suara yang cukup nyaring. Rasanya sangat sepi, tak ada suara dari siapapun. Seakan rumah ini tidak berpenghuni dan hanya aku yang terjebak di dalamnya.

Merasa takut, aku segera menghubungi Jefri.

"Jef?"

"Hum? Ada apa? Merindukanku? Tunggu sebentar, aku akan tiba di sana dua puluh menit lagi."

Aku menajamkan penglihatan dan mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru ruangan. Benar-benar sepi dan gelap gulita.

"Apa hari ini ada pemadaman listrik, Jef?"

"Maksudmu?"

"Tidak ada Lilian ataupun Mark dan beberapa penjaga yang kamu utus itu. Aku tidak tahu ke mana mereka pergi dan—"

"Alana, kembali ke kamar. Kunci pintu dan semua jendela. Jangan bukakan untuk orang lain selain aku. Mengerti?"

"Jef, tunggu sebentar. Aku mendengar sesuatu," sahutku. "Suara keributan yang berasal dari bawah," timpalku kemudian.

"Alana. Ikuti perintahku. Kembali ke kamar!" tegas Jefri. Suaranya sudah tidak terkontrol.

Aku menulikan telinga, tidak mengikuti saran darinya. Kakiku melangkah dengan hati-hati dan berjalan ke arah anak tangga.

Dengan flaslight seadanya, aku menyoroti lorong bawah dari lantai atas. Tidak ada siapapun. Mengapa rumah ini terkesan horror?

"Jefri, cepat kembali. Aku takut...."

"Apa kamu sudah berada di kamar?"

"Belum, aku harus mencari Ibu Lilian."

"Pikirkan dirimu dahulu. Jangan bertindak bodoh Alana. Kamu sedang tidak sendiri sekarang."

"Jefri, aku mendengar suara.... jeritan," ucapku dengan nada bergetar. Napasku mulai tercekat. Dengan tergesa aku kembali ke arah kamar. Menutup pintu dan mengunci pintunya dengan rapat.

"Aku sudah di kamar. Cepat kemari," pintaku dengan penuh harap. Aku merasa cemas takut terjadi sesuatu dengan mereka.

"Tenangkan dirimu, aku sudah memasuki perumahan."

Lampu kamar menyala membuatku bernapas lega. Setidaknya aku tidak sendirian berada di kamar ini. Ku balikkan tubuhku menghadap pintu. "Bu Liliana?"

"Alana? Lilian bersamamu?"

Aku tidak mengindahkan panggilannya. Ponsel yang sedang ku genggam kuat sejak tadi meluncur dengan bebas, tergeletak di lantai dan terbelah menjadi dua.

"Long time no see, Alana."

"Bu Letta?"

"Iya ini saya. Mengapa kamu seperti melihat hantu? Apa saya begitu menakutkan?" 

"Bagaimana bisa Ibu masuk ke rumah ini?"

"Wah, berani sekali kamu, memangnya mengapa kalau saya ada di rumah suami saya sendiri?" tanyanya dengan tatapan mengintimidasi.

Sontak aku berjalan mundur sembari memegangi perut menghalangi Letta yang ingin menyentuhnya. "Memutuskan kontrak dengan suamiku karena tidak bisa mengandung?" Dia berdecih lalu menunjuk wajahku. "Berhenti dengan drama murahanmu itu."

"Tidak ada waktu lagi, cepat ikat dan bawa dia. Jangan lukai kandungannya karena hanya aku yang berhak membunuh mereka," perintahnya kepada seseorang berperawakan tinggi dan besar. Aku tidak menyadari kapan pria itu ada di sudut kamar..




-------------------------------
Takut banget, akhirnya ketemu sama Bu macan.



Bunda Pengganti | Jung Jaehyun ✔️Where stories live. Discover now