Bahagia Bersamaku.

2 1 0
                                    

Saat masih muda, aku tak pinta bagaimana cinta datang padaku dengan bergegas. Aku hanya pinta kehidupan keluarga yang tak sama dengan orang tuaku yang tak enggan bercerai berai lalu membuat anakmu kabur entah kemana saja.

Esok jika sudah berbahagia, aku ajak kau berkeliling kota yang kau mau sambil menghirup udara yang tak kunjung membaik dari sarangnya, dunia juga semakin tua tapi tak kutemukan kembali apa arti bagaimana cara bahagia, mungkin bahagia punya banyak cara dan arahnya seperti membeli buku di Gramedia, menonton video tanpa ada iklan lagi, menonton movie tanpa harus membaca subtitle, membeli baju tanpa harus menawar karena sudah kaya, atau memesan barang tanpa harus menabung uang lagi.

Aku percaya jika dunia menyatakan cinta dengan banyak perantara, antara lainnya engkau, kekasih dambaan yang tak tahu siapa namanya kembali. Mungkin kau yang kini sedang sibuk bekerja, mungkin yang sedang robek lengannya atau yang sedang bercumbu dengan wanita lain, namun satu hal lagi nantinya kau adalah milikku.

Kadang cemburu, cemburu saat mentari malah menyengat wajah tampanmu, saat angin malah menerpa kulit indahmu, aku juga ingin menyentuhmu lebih lama, aku cemburu, ku katakan lagi.

Jika benar kekasih beralih ganti, menampik satu lama lain. Aku amati wajahku kembali, manusia mana lagi yang nantinya bisa menyamai wajah tampannya padaku, meminta gadis sederhana dengan maharnya, yang sanggup lengannya keram hanya karena memberikan waktu untukku dan yang sama sama tahu bahwa kita ingin lebih dari memeluk.

Banyak pula lelaki yang menyukai bunga, bak wanita bersolek yang wajahnya cantik, sedangkan aku menggerogoti apa katanya cantik, tak pandai sekali memadai apa value wanita sebenarnya. Mungkin esok lelaki tepat datang dan bertanya padaku, bertanya mengapa aku tiba tiba memakai alas bedak, lalu ku jawab dengan lembut, lelaki yang tepat jawabannya.

Pasrahnya aku mungkin saat kau membawaku entah kemana, memelukku entah sampai aku melupakan kemarin. Tak lagi bertanya, aku diciptakan untuk siapa saat Tuhan memberikan kau seorang wanita sederhana seperti aku dan kau mengerjapkan mata menatapku, kau layak mendapatkan lelaki seperti aku.

Selimut yang terbengkalai nantinya ada di atas tubuhku, kau sigap sekali memberikannya tiap kali aku bersin kedinginan di kala malam. Aku menjadi paling beruntung dari ribuan bahkan jutaan wanita yang pernah dikenalkan pada tiap bait sajak puisi atau aku juga salah satunya, ku pikir lagi.

Tampan sekali, jika tua nanti kulit tak kembali indah, mata yang sayu karena tak lagi cantik, ku harap kau tak katakan bagaimana asal mula kau mencintaiku karena cantik, sungguh aku pencemburu akan kecantikan wanita lain, kau buat kembali aku menjiwai rasa cintamu, kau mengusap telingaku, kau bilang wanita tak harus cantik, namun semua wanita itu cantik.

Akui saja, kau pria gagah yang bebas basah di kala hujan, bebas panas ketika matahari melalaikan dan membakar bumi, begitupun kau tak berlindung, kau lebih memilih mereda dan tunduk atas cinta yang kuberikan, katanya kau takut, takut jika aku mati tanpa memeluk tubuh gagah mu lagi.

Kau ajak aku menyiasati sajak sastra apa yang belum ku ketahui, kau tertawa bebas mengusap pipiku. Kau pinta aku jadi milikmu, jika tidak kau tak ingin manusia lain, meski secantik apapun dia.

Kembali kau bilang bukan cinta dan suka lagi alasan untuk bersamaku, namun kau bilang sulit menemukan manusia baru kembali, sulit berbaur dengan sikap yang baru kau kenali lagi. Kau bilang berjuta kali menelan keringat denganku lebih baik daripada harus mengenal wangi wanita baru lagi, kau bilang lelah namun tak bosan bersamaku.

Sajaknya kau meniru rupa seniman seniman yang gajinya mahal untuk menghidupiku di antara keras serta mahalnya kehidupan, hebat. Kau terkesima dengan kelap kelipnya rambutku yang terurai. Lalu, kau duduk di sampingku, memberikan aku secangkir teh hangat, menceritakan pekerjaan lelah mu hari ini hingga tiba kau tertidur menepatkan wajahmu di dada kiri ku.

Pertanyaan ku padamu di waktu dini hari setelah terbangun dari tidur dan ingin melaksanakan salat, aku menatapmu yang sedang berkecamuk dengan dzikir. Ku tanya, kenapa kau malah memilih aku menjadi pasanganmu. Kau hanya menjawab dengan sederhana, "Aku ingin membantumu menyapu halaman rumah", lalu kita sama sama tertawa.

Ternyata alasan memilih pasangan tak sesulit kosakata baku yang sering penulis tuliskan, alasannya benar benar mudah namun beralaskan logika. Lagi lagi ku tanya pada malam berikutnya kenapa kau malah memilihku, jawabanmu berbeda dan kau bilang dengan serius, "Aku ingin tunjukkan bagaimana lelaki menuntunkan surga pada wanita".

Pernah kau bilang, aku bukan cinta pertamamu. Kau bilang, cinta pertamamu lebih cantik daripada aku, namun aku tak marah, aku suka karena kau bilang aku begitu jauh lebih baik walau kalah dari fisik, kau bilang aku jauh lebih mengerti. Wanita yang baik menjadi istrimu sedangkan yang cantik akan berlalu menjadi masa lalu.

Saat kau malah membelikan ku labu siam untuk memasak, kau bilang enak padahal aku tak menyukai. Lalu, kau berbalik ke pasar lagi untuk membeli sayuran yang lain dengan susah payah. Pulangnya lagi kau tersenyum tertawa karena masakan sudah siap dahulu padahal kau payah membelinya.

Kau yang sudah malas membuka gadget jika tak perlu lebih sibuk menemaniku membaca buku novel kesukaanku karya Andrea Hirata, menemani aku melukis di kanvas, menemaniku memasak pagi hari menyiapkan sarapan dan melihatku tiap kali melihat tutorial hijab.

Matamu menaja seolah terkesima sekaligus bertanya bagaimana aku tercipta hanya untuk melayani dan mencintaimu, bibirmu langsung terbuka bertanya, aku hanya diam malas menjelaskan lagi. Aku pikir tak ada yang harus dijelaskan lagi, jika aku memilih berarti yang aku pilih itu adalah yang terbaik, kau mengangguk angguk mengiakan saja.

Aku gadis pendiam dan pemarah lalu bertemu dengan lelaki sabar dan dewasa sepertimu, terdengar aneh namun hebat. Jodoh siapa yang tahu, tak ada kan?, Hanya Tuhan.

Beri tahu aku, kapan waktu yang tepat untuk berhenti mencintaimu, bahkan makin tua makin menerjang rasaku padamu, pada sikap pintar untuk lebih tahu bagaimana kita berproses. Kau tiba menggandeng buah hati saat ku lemah di atas ranjang karena sakit, mengusap buah hati lalu mencium keningku lemah, cepat sembuh.

Rumah yang tiada berganti, menoleh ke arahmu dan terus melayaniku. Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jumat, Sabtu, Minggu. Bahkan Pagi, Siang, Sore dan Malam, setiap waktu yang diberikan untuk bersemayam di dalam namamu, kau berikan nama terakhirmu untukku sebagai pemilik hari tuamu. Ternyata ini rasa cinta.

Mungkin esok akan aku tanyakan bagaimana kalo aku menjadi pasangan yang tak bisa memiliki buah hati, kau jawab bukan permasalahan yang besar, menikah bukan untuk memberi dan menghasilkan, kau bilang lagi, "Biar takdir yang membawa kita kemanapun, aku akan menjagamu!".

Kali ini aku tersenyum, memeluk tubuhmu lebih lama lagi, mungkin hingga salah satu dari kita mati duluan. Walau hanya perumpamaan dan khayalan saja, namun aku ingin.




Herlin dari Galaksi PuisiWhere stories live. Discover now