5| 𝓟𝓮𝓷𝓮𝓻𝓲𝓶𝓪𝓪𝓷

67 47 50
                                    

Ditempat yang tidak terlalu luas dengan aroma obat yang kuat, Jinan coba mengingat keluhan yang ia rasakan pasca operasi. Jari jemarinya terkatup, bola mata yang bergerak kesana kemari, dan bibir yang mengulum menandakan perempuan itu tengah berpikir keras.

Nyaris seratus persen ia kerahkan seluruh ingatannya, namun entah mengapa begitu tiba dihadapan dokter, dirinya lupa begitu saja. Padahal sejak dari rumah, Jinan sudah bersusah payah merangkai kata-kata untuk ia sampaikan pada sang dokter.

"Jadi, cuman ada rasa nyeri?" tanya Kalandra melipat kedua tangannya di atas meja, fokus pada keterangan pasiennya.

"I ... ya." Selalu begini, gugup dan pada akhirnya Jinan tidak mengatakan apa-apa.

Pria bergelar dokter spesialis bedah umum tersebut mengangguk, kemudian menorehkan tinta hitam pada selembar kertas kuning dengan logo rumah sakit yang terpampang. Kalandra menyodorkan kertas kuning tersebut pada perempuan yang ada dihadapannya, kertas yang bertuliskan resep obat tapi hanya lekukan garis memanjang yang Jinan lihat.

"Nggak pa-pa, rasa nyeri itu biasa terjadi. Tinggal bagaimana kamu mengontrol kegiatan dan pola makan, Minggu—" Sang dokter menghentikan kalimatnya saat notifikasi pop-up muncul pada layar ponselnya.

Mama
| Angkat telpon mama Kalandra

Pesan itu sempat Jinan baca sebelum akhirnya Kalandra menyimpan ponselnya.

"—Minggu depan Mbak nggak perlu check up lagi. Untuk pergantian perban, Mbak bisa melakukannya sendiri di rumah atau datang ke puskesmas terdekat membawa surat rujukan." Sambung Kalandra.

Jinan mengangguk paham, lalu mengeluarkan sebuah benda kecil dari dalam tasnya dan menaruh benda tersebut ke atas meja, "Nametag dokter, 'kan? Saya temuin pas dokter lagi buru-buru masuk ke mobil waktu itu."

Kalandra tersenyum lega, "Sudah lama saya mencarinya, ternyata ada di kamu. Terima kasih," ucapnya menyimpan nametag tersebut di dalam laci.

Sesi check up sudah berakhir, tapi Jinan masih terdiam duduk seperti sedang memikirkan sesuatu.

"Emm ... dokter," panggil Jinan.

Kalandra dengan cepat menoleh, "Kenapa? Sudah ingat keluhan lainnya?"

Jinan tersenyum kikuk menepis ucapan sang dokter, kemudian berpikir dan terdiam lagi.

Kalau ditanya, ntar si dokter udah lupa. Tapi kalau nggak ditanya, jangan-jangan si dokter masih ingat. Kira-kira begitulah isi kepala Jinan saat ini. Ia sibuk memikirkan apakah ia harus menjelaskan kejadian buang gas itu atau tidak.

"Nggak jadi, dok." Finalnya.

Jinan lantas berdiri, mengucapkan salam perpisahan pada dokter Kalandra dan meraih tasnya yang ia taruh di atas meja. Namun hal tak terduga terjadi lagi, perempuan itu melupakan ponselnya yang tergeletak di samping tas. Alhasil tas mini milik Jinan menyenggol ponselnya sendiri dan terjatuh, lagi.

Kalandra dengan sigap mengambil ponsel Jinan dari lantai, melihat kaca pelindung ponsel yang sudah retak.

"Layarnya udah retak," ujar Kalandra memberikan ponsel itu.

"Kan gara-gara dokter," ucap Jinan keceplosan.

"Apa?"

Matanya membelalak, dahinya berkerut dan mulutnya ia kunci rapat-rapat. Jinan memalingkan wajahnya.

"Maaf, mungkin tadi saya salah dengar. Maksudnya gara-gara saya?" tanya Kalandra penasaran.

"Eh, enggak dok! Gara-gara itu —teman saya yang jatuhin, iya." Untungnya otak Jinan cepat meleleh, sehingga ia tidak perlu berpikir lama untuk mengarang alibi.

Sang dokter hanya ber-oh kemudian mempersilahkan Jinan untuk keluar, dengan cepat perempuan itu pergi membawa batin yang berperang.

↑↻↓

Seperti biasanya, setelah melewati lobby dan information center. Jinan menempelkan id card-nya pada alat scanning dan memasuki lift yang akan membawanya menuju lantai 12.

Sebetulnya hari ini ia mendapatkan full cuti untuk berkunjung ke rumah sakit, namun Jinan memilih cuti setengah hari dikarenakan bosan jika terus berada di rumah.

Hari ini para staff terlihat tidak begitu sibuk, kenyataannya mereka semua tengah termangu menyaksikan berita gosip yang tentunya diputar oleh Madam Rosé. Mereka bahkan tak menyadari kehadiran Jinan.

"Acara pesta pernikahan model superstar Janelle dengan direktur perusahaan Yunīkuda berlangsung mewah. Tamu undangan yang hadir pun tidak main-main, mulai dari kalangan selebriti, para pejabat dan sahabat dari kedua mempelai ...."

Sudah tiga hari berturut-turut, televisi hanya menampilkan berita itu-itu saja. Setiap berita gosip selalu menayangkan betapa mewahnya perhelatan Hendery dan Janelle. Pernikahannya menjadi trending nomor satu di berbagai platform sosial media.

"Dengan adanya berita ini, itu berarti bagus buat pemasaran edisi See The Sea dong ya?" Giselle bersuara.

Rosé tampak mengiyakan kalimat Giselle, "Bahkan ini juga bagus untuk penjualan majalah yang sebentar lagi akan terbit, saham Yunīkuda pasti meningkat."

"Dapat bonus dong kita!" cetus Jinan yang entah sejak kapan bergabung menonton siaran gosip tersebut.

"Udah balik aja, gimana? Amankan?" Rosé menanyai kesehatan Jinan setelah perempuan itu pulang dari rumah sakit.

"Aman," jawab Jinan mengacungkan jempolnya.

Deringan telpon menggema menghancurkan afeksi seluruh karyawan yang tengah asik menyaksikan siaran gosip. Sadar bahwa itu ponselnya, Madam Rosé mengangkat dan menjauh dari kerumunan.

Beberapa detik berlalu, terdengar suara teriakan dari wanita yang kerap di sapa Madam tersebut. Jinan segera menghampiri sumber suara dan menemukan atasannya yang sudah tampak gelisah.

Untuk kali pertamanya Jinan melihat sisi lain dari Rosé.

Wanita itu terus menangis, namun tak menjelaskan apa yang sedang terjadi. Rekan kerjanya yang lainpun juga ikut khawatir. Berbagai cara dilakukan untuk memenangkan sang desainer, tapi tak membuahkan hasil.

"Madam, kenapa?" tanya Jinan tatkala panik.

"Jef, Jeffery! Suami Madam—" kalimatnya terbata-bata.

"Suami Madam kenapa?" Ucup muncul sebagai penengah.

"Di-dia, dia dikeroyok!" Tangisan Rosé semakin menjadi-jadi. "Dia dibawa ke rumah sakit pradipta." Wanita itu menyelesaikan kalimatnya dengan bibir yang bergetar, dan mata yang menangis.

Ungkapan Rosé sontak mengejutkan seluruh penghuni ruang unik. Refleks Jinan mengambil kunci mobil milik Rosé dan menatap kunci itu dengan seksama. Lupa bahwa dirinya tak bisa menyetir, Jinan lantas melempar kunci itu pada Ucup.

"Pak Ucup, antar madam ke rs sekarang!"

Ucup dengan jiwa tolong menolongnya langsung mengiyakan titah Jinan. Mereka berlarian ke ruang parkir, mengabaikan tatapan penuh tanya dari pegawai divisi lain.



𝐌 𝐄 𝐍 𝐉 𝐄 𝐑 𝐔   𝐁 𝐀 𝐃 𝐑 𝐀
ˢᵃᵐᵇᵘᵗˡᵃʰ ᵈⁱᵃ ᵈᵉⁿᵍᵃⁿ ʰᵃⁿᵍᵃᵗ

MENJERU BADRA Where stories live. Discover now