2 Volkswagen Beetle

37 6 2
                                    

2
Volkswagen Beetle


Mobil klasik Roger mengantar Dinda sampai kembali dengan selamat. Hanya saja, belum juga Dinda turun dari Volkswagen itu, seseorang sudah menunggunya di depan gerbang. Seorang pria muda dengan pakaian kemeja yang rapi. Dinda sendiri tak tahu siapa dia, tetapi gadis yang disampingnya jelas Dinda kenal.

Salma berlari saat pintu mobil terbuka. "Dinda!" serunya cepat seraya menangkap tangan sahabat karibnya itu.

"Ada apa, Sal? Kenapa menunggu di sini?" Dinda terkejut dan bingung.

Pria yang tadi berdiri di samping Dinda pun mendekat. "Siapa?" tanya Dinda dengan wajah malas. Ia masih enggan jika ditanyai lagi macam-macam seperti saat keluar dari mall. Dinda masih mencoba menebak dengan pertanyaan ringan. Sedari tadi ia benar-benar tidak bisa bercanda. Kejadian di pasaraya membuatnya kehilangan selera humor.

"Dia ..." Salma menahan jawabannya melihat raut wajah tidak suka yang diekspresikan Dinda. "Penyidik," lanjut Salma dengan suara lemah. Dinda mendengkus kesal tapi Salma buru-buru menepisnya memastikan pria itu tidak mendengar ekspresi kesal Dinda.

Pria penyidik itu mengangguk memberi salam kepada Dinda yang masih saja memsang muka masam.

Sementara Roger yang datang bersama Dinda buru-buru memutar kemudi dan meninggalkan Dinda dan Salma.

"Kenapa pemilik mobil klasik itu buru-buru pergi?" tanya pria itu dan kini mendekat.

"Ah, iya. Kau tadi dengan siapa?" Salma pun baru menyadari. Sementara Dinda bingung harus menjawab apa karena sepertinya Roger menghindari Salma untuk menutupi jangan sampai ketahuan barusan ia pergi dengan Dinda.

"Em ... cuma seorang teman, tadi kebetulan nganter aku ke klinik." Dinda mencari alasan.

"Klinik? Kamu masih sakit?" Salma buru-buru menyambar.

"Kami hanya perlu melakukan wawancara sebentar," pria penyidik itu secepatnya juga memotong kalimat.

Dinda hanya menatap keduanya bingung.

"Barusan saat aku pulang kerja juga sudah ditanyai, bahkan kartu identitasku," Dinda menahan kalimat lanjutannya mengingat kartu identitasnya tertinggal.

"Ini, tadi aku ambil dari petugas polisi yang di sana," jawab Salma dan memberikan kartu identitas milik Dinda.

Pria penyidik yang bersama Salma tamoak sopan. Dia pun merasa sudah waktunya untuk menyela.

"Begini, perkenalkan saya Arya, salah satu anggota penyidik di reskrim kota. Saya hanya akan menanyai beberapa hal terkait kematian wanita di pasaraya." Arya pun menjelaskan maksud kedatangannya.

"Ah, tidak! Dinda sedang sakit. Kau seharusnya mengerti." Salma justru buru-buru menghindarinya.

"Tidak apa-apa, Sal. Aku baik-baik aja kok," jawab Dinda tenang. "Silakan masuk. Tidak sopan kalau mengobrol di halaman," Dinda mempersilakan Salma dan Arya memasuki rumah kosnya.

"Hei, kenapa kamu mempersilakan dia masuk. Dia orang asing," Salma berbisik lagi memperingatkan.

"Bukankah katamu dia penyidik?" jawab Dinda tampak tenang.

"Apalagi penyidik, dia akan menanyaimu macam-macam. Belum lagi dia tahu kalau kamu ...." Salma tak melanjutkan kalimatnya. Ia terlihat khawatir melihat wajah Dinda yang kini berubah.

"Kau memberitahunya?" Dinda mengeryitkan dahi. Ia curiga Salma memberitahukan kepada petugas polisi atau malah langsung pada penyidik itu bahwa Dinda semalaman di Pasaraya.

"M-maafkan aku, aku hanya ...." Kali ini Salma tidak melanjutkan kalimatnya bukan karena ekspresi Dinda melainkan karena Dinda sudah meninggalkannya di ruang tengah dan segera menuju ruang tamu menemui Arya.

Korban ke TujuhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang