17. Bahaya yang Tidak Pernah Berhenti

6.1K 1.1K 256
                                    

“Pak! Lihat itu!”

Bola mata Istri dari Santoso seketika membeliak lebar saat menangkap Kapal Patroli dari arah timur. Mereka yang ada di sana seketika mengikuti arah tunjuk tangan perempuan bersanggul kecil. Lewat jendela transparan, semua bisa menerka jika kapal hitam baja itu berniat menabrakan diri pada kapal mereka. Santoso berteriak, memerintah pada sang Nahkoda agar mempercepat lajunya kapal. Tidak peduli dengan keadaan ombak yang perlahan mulai menunjukkan buih-buih putih di tengah laut.

“Bos! Sebelah barat juga ada!”

Kapal sisi kanan mereka ditabrak sampai tubuh-tubuh yang sedang berdiri itu terdorong dan berjatuhan. Kapal berguncang hebat. Belum habis efek dentuman yang terjadi, tabrakan kedua menyusul dari arah yang berbeda. Suasana mencekam bagi mereka yang berhati busuk. Padahal mereka sudah mengantisipasi ini dengan mengambil start dari daerah pesisir pantai yang paling jauh dari jangkauan aparat. Namun tampaknya skenario mereka tidak akan berjalan mulus.

“Amankan dua gadis itu! Jangan sampai kita tertangkap!” teriak Santoso. “Siapkan senjata! Kita habisi mereka!”

Dion dan tiga anak buahnya segera bergerak menerobos kamar. Sementara yang lain berlari terpogoh-pogoh membuka kotak brangkas senjata. Kapal terus melesat di atas samudera biru. Melawan terjangan gulungan ombak yang menghantam tiada henti. Dua kapal Patroli menyusul dari belakang tidak kalah cepat. Dengan sirine yang dinyalakan dan teriakan megaphone yang menyuruh untuk berhenti.

“Menyerahlah! Kalian sudah terkepung!”

Istri Santoso menoleh ke belakang waswas. Goyangan kapal semakin terasa. Tubuh mereka terombang-ambing tidak karuan. “Kenapa mereka bisa tahu rencana kita?”

“Itu nggak penting!” sentak sang Suami. Menatap fokus ke depan. Memperkirakan kapan mereka sampai ke tempat wangsit untuk melakukan pertukaran janji. “Paling penting, gimana caranya kita nggak tertangkap!”

Suara bising membuat semua mendongak. Satu anak buah melongokkan kepalanya ke luar jendela. Hanya untuk melihat sebuah Helicopter logo Densus 88 sudah berada di atasnya. Tampak gagah bersama putaran baling-baling.

“Sial!” umpat Santoso bersamaan dengan keluarnya Issa dan Kinanti yang dijerat borgol. Di kaki gadis itu sudah dipasangkan rantai pemberat dengan bandul besi puluhan kilogram.

Kesepuluh anak buahnya seketika menurunkan kain seibo yang semula dilipat di kening. Masing-masing tangan mengeluarkan pistol ataupun senapan laras panjang. Benda selundupan yang diperoleh dari Dion, selaku oknum Komandan Kepolisian berhati hitam. Mereka melingkar dengan tatapan bengis, menjadikan Kinanti dan Issa berada di tengah-tengah sebagai sanderaan.

Tiga personil Densus 88 bersenjata lengkap dan seragam tertutup turun melalui sling baja dari helicopter. Ikut berpindah kapal, empat Polisi Air bersama tiga lelaki muda yang dilengkapi rompi anti peluru. Lewat jalan samping, mereka menyerbu para penjahat. Di ruang kapal yang terabaikan di tengah lautan.

“Menyerahlah!” tegas Bripda Brata dengan pistol dia todongkan lurus menargetkan dada. “Kau hanya punya dua pilihan, serahkan diri atau mati!”

“Turunkan pistol kalian atau mereka yang akan mati!” balas Dion yang semakin menekan kedua pistol di belakang kepala Issa dan Kinanti. Sekali saja telunjuk menekan pemantik itu, kepala gadis di sana akan meledak.

Di tempatnya berdiri, dengan dada naik turun cepat, Jeano hanya fokus memandangi sepasang mata basah Issa yang berkaca-kaca. Sangat bergemuruh dada lelaki itu saat melihat bagaimana wajah Issa yang penuh luka sayat dan lebam keunguan. Dengan kondisi mulut dibekap kain membuat Jeano mengumpat dan mengepalkan tangan sampai urat-uratnya menonjol. Lebih dari sekali pemuda itu menekan ambisi berontaknya untuk tidak segera berlari menghampiri Issa dan menghabisi siapa saja. Bagaimana pun, dia harus patuh sesuai briefing yang sudah diberikan.

KKN NAWASENA 88 (SUDAH TERBIT)Where stories live. Discover now