02. Cerita Desa Cipatujah

10.3K 1.6K 426
                                    

Note : Nama Kampung dan Hutan itu fiksi, ya. Tidak ada keasliannya.

Jarak yang kata Maraka bisa ditempuh dalam kurun waktu lima jam jika digabungkan, nyatanya melenceng dua jam lebih lama dari perkiraan. Kendala Ares yang salah mengambil belokan saat di hadapkan dengan pertigaan, menyebabkan mereka tersesat di tengah hutan belantara.

Meski begitu, Ares tetap membela diri tidak mau disalahkan. Cewek selalu benar dan cowok selalu salah nyatanya tidak berlaku bagi lelaki berdarah Minang itu. Sebab katanya, yang mengoperasikan google maps adalah Jagatra. Sementara Jagatra juga tidak mau disalahkan seorang diri. Setiap keputusan pengambilan jalan, adalah hasil diskusi berdua. Tapi sepertinya Jagatra lupa, berdiskusi bersama Ares yang kesabaran sependek sumbu kompor, sama saja seperti bertanya pada perempuan yang tengah datang bulan. Jawabannya selalu ngegas dan berakhir di kata paling mematikan, 'terserah'.

"Ini bener jalannya ke sini?" Setiap kali Maraka bertanya demikian di sela-sela waktu berhenti di pinggir jalan, Ares atau Jagatra hanya menjawab dengan kalimat yang kerapkali keluar dari mulut perempuan.

"Bener kok, di maps-nya gituh." Mungkin jika maps bisa berbicara, dia akan mengamuk juga karena selalu disalahkan.

Tidak hanya insiden nyasar hampir satu jam lamanya, insiden tak terduga lainnya juga turut membuang waktu mereka secara percuma. Dimulai ban motor Haikal yang tiba-tiba merajuk seperti anak perawan, drama Dewa yang tertinggal jauh di belakang karena kurang lihai salip menyalip. Maklum dalam sebulan lelaki itu jarang sekali menggunakan motor. Kemana-mana selalu bawa Robicon.

Juga yang tidak kalah mendebarkan jantung, drama hilangnya Kinanti di Alun-Alun Tasik Malaya sesaat setelah rehat untuk menunaikan sholat Dhuzur. Semua orang dibuat rusuh ketar-ketir mencari, yang tahunya, gadis yang tengah datang bulan itu malah asik menonton pertunjukan Doger Monyet. Sembari menyengir lima jari sambil nyeruput es cekek rasa mangga.

Kalau kata Dewa. "Cantik-cantik suka monyet. Curiga dia monyet cantik yang sebenarnya."

Setelah melewati berbagai rintangan dan jalan yang cukup menguji adrenalin--karena banyak melewati hutan belantara--akhirnya mereka sampai juga di daerah Desa Cipatujah. Rombongan empat motor itu berhenti tepat di depan sebuah bangunan kantor. Bangunan satu tingkat sederhana yang didominasi warna putih. Tampak gelap oleh sebab banyak sekali pepohonan yang tumbuh di depan halamannya. Tapi apakah masalah juga turut berhenti? Jelas tidak.

Gerbang Kantor Desa ditemukan tertutup rapat. Digembok dari luar. Sepi tidak ada siapa-siapa. Tidak ada tanda kehidupan di dalamnya. Selain warung kecil yang ada di sebrang mereka.

"Beneran ini desanya?" tanya Kinanti meragukan, sesaat setelah menelisik sekitar.

"Bener, tuh ada tulisannya," balas Ares menunjuk plang yang tidak jauh dari mereka.

"Tapi kok sepi banget," sahut Elisa yang disetujui.

Sampai pekikan Raline membuat mereka menoleh terkejut. "Anjirlah! Sekarang hari Minggu, Desa kan libur kalau tanggal merah."

"Demi apa?!!" Mulut Dewa spontan menganga. Semua yang di sana, dibuat speecless untuk beberapa saat. Lah, iya juga.

"Gue lupa seriusan," cicit Maraka. Inilah efeknya kalau jadi manusia yang tidak mengenal libur, jadi lupa kalau hari Minggu Kantor Desa tutup.

"Begonya dibagi rata," sahut Jagatra yang tidak tahu harus berkata apa lagi selain berjongkok seperti anak hilang. Tubuhnya betulan seperti akan remuk karena dibonceng Ares yang seperti pembalap di Mandalika. Jalan bolong, polisi tidur, dihajar semua.

"Tapi nggak mungkin juga kita balik lagi," kata Elisa  ada benarnya. "Gila aja udah capek-capek ke sini."

"Kita tanya sama warung yang di depan, kita langsung ke rumah Pak Kadesnya aja," putus Maraka yang sedari tadi berpikir keras.

KKN NAWASENA 88 (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang