12. Pulang yang Tak Sama Jumlahnya

7.1K 1.2K 328
                                    

Saat tanah itu berhenti ditapaki, semilir angin hutan menerpa wajah letih mereka. Menggerakan rambut Wilona sampai menutupi wajah pucat membirunya. Suhu tubuh yang semula hangat karena guyuran keringat, kian dingin seperti terbelenggu salju. Berkali-kali mereka mendongak, hanya untuk disuguhi bulan yang kecantikannya tertutup kabut hitam. Gubuk kecil itu rupanya hanya mampu diterangi lampu cempor. Tampak berdiri satu meter di depan mereka. Meski berkali-kali angin menyapu, tetapi api di dalam sana tidak kunjung juga mati.

"Lang, lo kan yang bawa Wilona, masuk duluan gih," titah Dewa menarik kencang tangan temannya untuk pindah ke depan.

"Ogah!" sewot Gilang karena diperlakukan layaknya sapi yang siap dikurbankan. "Lo ajalah! Lo kan yang dari awal pimpin perjalanan!"

"Gue mikirin kata-kata dulu. Nanti kita harus ngomong apa di sana?" Dewa ngeles.

"Rempong banget. Lo bukan lagi mau wawancara kerja."

Dewa berdecak dan balas menatap sinis Gilang. "Ini lebih krusial daripada wawancara kerja. Salah ngomong dikit, remedi lo gak abis-abis."

"Berisik lo berdua! Nggak sopan ribut di depan rumah---"

Bruk!

Belum sempat Ares menamatkan tegurannya, pintu gubuk mendadak terbuka lebar. Sedikit menghasilkan dentuman yang meski begitu, tetap saja membuat mereka terlonjak kaget saking heningnya suasana. Dewa bahkan latah dan Gilang spontan memejamkan mata. Di tempatnya berdiri, tidak lama, ketiga pemuda itu disuguhkan dengan kedatangan sosok Kakek sepuh.

Kakek---yang mereka temui sewaktu pertama kali sampai di Desa ini. Kakek---yang sempat memberinya segenggam bekal---yang sampai saat ini berada di kantung celana mereka.

Mereka harus melepas dulu sepatu. Dan menaiki kurang lebih enam tangga sebelum menginjakan kaki di teras gubuk. Pelan namun pasti Ares memimpin langkah. Setiap kali kaki terangkat, suara papan kayu yang mereka injak berdecit. Lonceng yang tergantung di ambang pintu seketika berbunyi karena tersenggol kepala Ares. Mbah Linggih yang sudah bersila mengikuti gerakan mereka yang tanpa disuruh pun langsung duduk di depannya.

"Malam, Mbah," salam Ares mula-mula, menganggukan kepalanya kecil.

Yang diberi salam hanya diam dengan wajah tidak bersahabat. Matanya yang gelap menatap penuh intimidasi pada tiga anak lelaki di depannya. Di atas tikar yang mereka duduki tidak kosong. Tersedia tiga gelas minuman semacam kopi hitam, seakan-akan Mbah Linggih sudah lebih tahu akan ada tiga tamu yang berkunjung. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Mbah Linggih menyodorkan minuman itu. Juga asbak untuk membuang abu serutu yang dihisap oleh mulut Mbah Linggih.

"Punten, Mbah." Di luar prediksi, tiba-tiba Dewa tersenyum kikuk. "Saya punya maag, jadi nggak boleh minum kopi kata Mami."

Rasa-rasanya Ares ingin menendang Dewa sekarang. Giginya bergemeletuk menahan kesal yang melesat ke ubun-ubun. Demi seisi belahan bima sakti, di mana letak otak Dewa? Hingga dia tidak mampu membaca siapa yang menjadi lawan bicaranya.

Menghela napas tertekan. Ares diam-diam mencuri pandang ke wajah Mbah Linggih yang juga tengah menatapnya lurus. Pemuda itu berdeham sejenak, dalam pikirannya, Ares merasa Mbah Linggih akan segera mengobati Wilona jika dia menuruti perintah tersebut. Akhirnya Ares membagikan gelas kopi dan diberikan pada Dewa dan Gilang.

"Gue juga minum?" tanya Gilang setengah berbisik.

"Nurut aja!" paksa Ares yang tidak sabaran agar Wilona cepat diobati.

Setelah berdoa di dalam hati, dengan setumpuk ragu dan gerakan kaku, Gilang semakin menaikkan gelas plastik itu ke mulutnya. Hingga bibir lelaki itu menempel dan mulai menyesapnya sedikit. Setelah tercicip, mata Gilang berbinar. Sungguh, ini adalah kopi terenak yang pernah dia minum. Maka tanpa melihat kedua temannya, Gilang menegak kopi itu hingga tandas tanpa sisa.

KKN NAWASENA 88 (SUDAH TERBIT)Donde viven las historias. Descúbrelo ahora